Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Sekelumit Nyanyian Surga


Kau akan tampak lebih cantik jika tak ada garis hitam yang melingkari indah matamu. Perpaduan yang sangat memesona hati jika kau tersenyum kecil tanpa garis hitam tersebut. Sekarang, aku menatap wajahmu yang kelam. Aku terpaku tanpa tangis maupun tawa dalam diriku. Seperti barisan semut dalam tembok yang kusam, jari-jarimu bergerak kecil membentuk untaian tarian magis. Tarian iblis yang pernah kulihat di setiap mimpi-mimpi malam yang penuh dengan karat menghitam. Sementara aku akan tetap disini menemani malam-malam dengan harapan yang menggantung dalam angan.
Kau hanya diam memaku tanpa tatap. Matamu terpejam seolah-olah kau sedang mengalami mimpi paling sempurna selama kau terlelap di dunia ini. Kulitmu terlihat pucat membeku, tertusuk jarum infus yang selalu memberimu makan agar otot-ototmu kuat untuk menahan roh di dalam tubuhmu. Secercah warna cahaya pagi pun tak membangunkanmu dari tidur yang begitu lelap.
Secangkir kopi pahit selalu ku hidangkan di sisimu. Agar kau menghirup betapa wanginya kopi itu. Dan bangun untuk menikmatinya bersama kicauan burung yang setia menemani pagi bisu. Kopi dengan sedikit gula. Kopi kesukaanmu.
”Aku hanya minum kopi pahit di pagi hari. Tak boleh ada kafein yang masuk dalam tubuhku jika hari telah gelap, jika surya telah padam. Aku akan sulit tidur malamnya” katamu menolak halus tawaranku untuk minum kopi di sebuah angkringan ujung jalan Malaiboro malam itu. Namun pagi ini, kau tak tergugah untuk segera menikmati kopi yang khusus ku siapkan untukmu. Mungkin pikiranku hanya bisa mengira-ngira jika kau sudah bosan untuk menikmati kopi pahit di pagi hari. Dan aku hanya menunggu malam berharap kebiasaanmu menjadi berubah, yakni menikmati kopi pahit di malam hari. Kenyataannya ketika malam tiba, kau masih membeku bersama kopi pahit yang telah dingin di sampingmu.
Aku mengeja doa berharap kau segera mengerti akan kesedihan tanpa tangis dalam tubuhku. Air mataku tak pernah mengalir untuk menyatakan bahwa kesedihan yang kurasakan terlalu dalam. Begitu dalamnya kesepian dan kesedihan yang kurasakan, air mata dan tangisanku hanya dapat mengalir membahana dalam tiap sudut jiwaku. Hanya saja di dalam telingaku tak jarang muncul bisikan-bisikan halus yang selalu membuatku gelisah menikmati malam. ”Sabarlah! Serahkan dia dengan tulus kepada malaikat-malaikat putih yang selalu menunggu di atas kepala dan kedua telinganya!”. Bisikan itu selalu datang menyergap alam ketidaksadaranku. Menjadikanku manusia yang lemah terhadap godaan-godaan yang rasanya tak perlu aku lakukan.
Dahan-dahan kering telah menjadi lapuk. Keropos akhirnya jatuh terjerembab bersentuhan dengan tanah yang siap menguraikan semua partikel dahan tersebut. Seperti itulah mungkin yang akan terjadi pada tubuhmu yang putih dan sintal itu. Pikiranku terlalu jauh membayangkanmu mendiamkan waktu. Terlalu lama otakku keruh karena tak ada lagi sambutan senyum manismu di setiap hariku. Yang aku lihat hanya seonggok tubuhmu yang semakin hari semakin pucat bercengkerama dengan residu yang telah mengaliri seluruh darah dalam tubuhmu.
Semua ini salahku. Penyesalan memang selalu menghantui ketika semua cerita telah terjalani. Jika aku dapat kembali ke masa lalu, maka aku akan melakukan hal yang terbaik dalam hidupmu. Tapi semua itu hanyalah angan semu, tak akan ada kenyataan di dalamnya. Bahkan aku rasa tidak ada sama sekali peluang muncul suatu keniscayaan di sana. Jadi semua yang terjadi biarlah terjadi, biarlah waktu yang akan terus menghakimi dan mengadili setiap perilaku manusia. Termasuk kita. Aku dan kau.
Hatiku menjerit tertahan penyesalan. Teringat dulu ketika aku mengenalkanmu pada suatu benda jelmaan sesosok iblis yang sangat kejam. Yang suka menari-nari di tengah gelapnya malam. Bahkan suka melayangkan nafsu liar dalam sebuah hayalan yang terlalu tinggi untuk ukuran manusia biasa. Kemudian ingatanku melayang ke sebuah peristiwa yang melukiskan pertemuan kita pertama kali di sebuah angkringan di ujung jalan Malaiboro.
***
Jalanan di sekitar Malaiboro melenggang sepi. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Hujan rintik-rintik mungkin adalah penyebab utama sepinya malam itu. Hanya ada aku dan kau di dalam angkringan tersebut. Semburat tatapmu menyiratkan sebuah kesedihan yang mendalam. Namun wajahmu mengatakan sebuah ketegaran yang mampu menutupi semua kesedihan yang kau rasakan. Gurat-gurat bekas tetesan air matamu tak begitu jelas terlihat. Mungkin saja bila kau suka menggunakan riasan di wajahmu, bekas air mata itu akan terlihat lebih jelas. Wajahmu begitu alami, dan mungkin saja perkiraanku tepat. Kau tak suka berdandan. Sejenak dalam sebuah jerat kebisuan, aku mencoba memulai percakapan.
”Gilang” aku memperkenalkan diri dan menjulurkan tanganku untuk menjabatmu. Kau tampak tersenyum kecil yang dipaksa. Harapanku untuk menjabat tanganmu sepertinya tak mendapat respon yang baik. Kau hanya mengaduk-aduk segelas teh dihadapanmu dengan sendok kecil di sela-sela genggaman jarimu yang lentik. Ku tahan malu pada penjaga angkringan yang tersenyum simpul melihat apa yang aku lakukan. Tanpa membuang waktu yang ada, aku langsung menyeruput kopi panas tanpa gula. Mencoba menenangkan rasa malu dengan berpikir tak ada kejadian di angkringan itu.
Tak terduga kau mengomentari bagaimana aku meminum kopi itu. ”Lidahmu akan mengelupas jika minum kopi panas seperti itu!”. Kau memandangku. Tampak sekali getaran kesedihan yang tersirat di setiap kata yang kau ucapkan itu. Aku hanya diam. Tak berlangsung lama kau berkata lagi, ”Pacarku dulu mengajariku cara minum kopi panas. Tuangkan sedikit kopi panas itu ke alas cangkir kemudian seruputlah, lebih aman bagi lidahmu yang ranum itu. Begitu katanya yang halus mengajariku”. Kemudian sejurus aku melihat air mata yang mengaliri kulit pipimu yang terlihat begitu halus.
Aku menjadi serba salah dan hanya terdiam di sampingmu sambil sesekali memainkan sendok di dalam cangkir kopiku. Seolah waktu berjalan melambat dan kau menyebut namamu dengan jelas. Masih terngiang begitu lembut kau mengucapkan namamu sendiri. Rasti. Saraswati lengkapnya.
Entah karena suasana yang mendukung atau memang sengaja takdir mempertemukan kita. Kau dan aku begitu cepat sekali akrab. Setelah menghabiskan segelas kopi dan segelas teh di kedai itu, kita berjalan menembus jalan Malioboro ditemani malam pekat dengan sentuhan kabut sehabis gerimis. Di sebuah tempat duduk desain taman terbuka di sekitar beteng Vredeburg kau menceritakan semua kisah kesedihan yang kau alami. Aku hanya manggut-manggut mengerti akan kesedihanmu. Cinta katamu. Putus cinta yang sangat menyakitkan.
Seiring malam yang terus merambat, tak sadar kau telah menyandarkan kepalamu di bahuku. Tampak angin malam membelai rambutmu yang wangi tertangkap indera penciumanku. Entah mengapa juga, spontan tanganku mengelus buraian rambutmu. Mencoba menenangkanmu bersama sepoi angin malam.
Ibarat memancing di air keruh. Iblis-iblis dalam benakku membisikkan sesuatu padaku. Mereka menari-nari di setiap rajutan urat sarafku. Aku semakin terbuai dengan tarian itu. Akhirnya aku memberimu saran agar kesedihanmu itu lenyap dalam waktu yang sekejap. Kau segera menegakkan kepalamu dari sandaran bahuku. Kau memandangku tajam dan penuh rasa penasaran kau menunggu sesuatu yang terucap dari mulutku. Aku agak gugup dan menengok kanan kiri kemudian mengeluarkan sesuatu dari celana panjangku. Sebungkus plastik dengan isi beberapa pil iblis. Semua darah iblis telah diramu menjadi sebuah pil kecil yang padat.
Ku lihat tatap matamu penuh rasa heran. Kau menggeleng tanda tak setuju. Aku segera meraih tanganmu meyakinkan dengan rayuan iblis yang begitu lembut hingga kau luruh. Kau tampak menurut seperti boneka yang selalu menjadi objek permainan bocah di bawah umur. Kau mengajakku ke sebuah kontrakan di daerah Gejayan. Kau menukar isi dompetmu dengan beberapa pil iblis itu. Aku sebenarnya tak bermaksud untuk merusak hidupmu. Aku hanya berusaha untuk mempertahankan status mahasiswaku. Aku tak mau terkena drop out hanya karena tak ada biaya untuk melunasi tanggungan tiap semester. Orang tuaku yang hanya hidup sebagai petani di desa hanya cukup memberiku uang makan tiap bulan. Tidak cukup untuk biaya pendidikanku. Aku juga merasa kasihan terhadapmu. Namun tak ada pilihan lain, hanya dari dirimulah harapan pertama itu muncul.
Kau tampak begitu menikmati malam itu dengan sebutir pil iblis yang kejam menyayat urat sarafmu. Di dalam kamar kontrakanmu itulah kau menikmati indahnya alam maya. Kau mengajakku untuk menikmati alam mayamu. Kau meracau tak karuan. Katamu kau sedang bernyanyi nyanyian surga bersama malaikat-malaikat kecil. Aku hanya tersenyum geli mendengar ocehanmu. Tak ku kira kau begitu berani menelan pil itu. Sejenak aku tertarik dengan ajakanmu. Namun akal sehatku masih bekerja dengan baik. Aku tak mau menelan pil iblis tersebut. Aku hanya ingin menemanimu hingga kau tertidur lelap dengan sejuta mimpimu itu.
Dan tidak hanya malam itu saja kau menghabiskan waktu-waktumu untuk bersenandung mesra di antara ribuan mimpi semu. Setiap waktu kau selalu mencariku untuk menebus pil demi pil hingga kau adalah pintu utama untuk meneruskan pendidikanku. Sebenarnya aku bukan pembuat pil-pil tersebut, aku hanya sebagai perantara dengan komisi yang cukup menjanjikan. Begitulah seterusnya hingga kau selalu dekat denganku. Sedekat hatimu dengan hatiku.
Detik demi detik. Menit demi menit. Hari pun berganti. Kisah terus berlanjut. Tak ku sangka perasaan itu muncul. Perasaan yang selalu menginginkan kebersamaan antara aku dan kau. Seperti ranting dengan daun, ku ingin kita sedekat itu. Namun batinku selalu menangis, ternyata kau terlalu dekat dengan pil iblis tersebut. Semua memang salahku, kau selalu mencariku, bukan mencari hatiku, namun mencari apa yang aku bawa. Yah pil setan itu. Selalu dan selalu, hingga aku merasa begitu kasihan padamu.
Setiap kau datang padaku, seolah kau menceritakan dengan tangisan yang sedih. Kau merengek seperti bayi yang telah lama kehilangan susu dari tetek ibunya. Kau selalu meminta pil tersebut. Tak kuasa hati dan dengan tangan yang begitu berat aku memberikannya kepadamu. Mungkin aku terlalu sayang padamu hingga aku tak bisa melihatmu begitu menderita tanpa mengkonsumsi pil tersebut. Sejenak ku tatap matamu, tak ada tatapan mata yang anggun. Hanya bayangan tarian iblis yang tergambar dalam lensa matamu. Rasti yang dulu telah hilang, namun hatiku selalu berkata bahwa itu adalah kau.
Dan di malam itu. Aku heran kau sudah lama tidak mencariku. Terasa aneh, bahkan lebih aneh dari pada temuan makhluk asing di daratan Eropa. Iblis-iblis dalam tubuhmu pasti akan kelaparan jika tidak kau beri pil itu. Jika dulu kau mencariku, malam itu aku mencarimu. Aku menemukanmu, namun setengah badanku kaku melihat keadaanmu. Badanmu tengkurap di lantai kamarmu dengan busa putih keluar dari mulutmu yang begitu ranum. Di sekitarmu terdapat banyak pil dan beberapa jarum suntik. Entah dari mana kau dapatkan semua itu, aku juga tidak percaya langkahmu terlalu jauh dengan barang-barang seperti itu.
Hingga kini kau masih terbaring tanpa daya di atas pembaringan itu. Sejenak ku pandang lekat wajahmu. Dalam lelapmu kau tersenyum kecil, seakan-akan kau sedang menikmati alam yang teduh dan damai. Setelah hampir setengah purnama kau terbaring, baru kali ini ku lihat engkau tersenyum. Senyum dari manakah itu, aku pun tak tahu. Kau pun kemudian tersadar. Begitu sempurnanya perasaanku kau bisa kembali melihat dunia dengan tatapan indahmu. Tak ku temui lagi tarian iblis di sana. Dan setelah urat-urat tubuhmu mengumpulkan daya, kau bercerita tentang apa yang tidak aku ketahui. Suaramu terdengar begitu parau dan terbata-bata, seolah kau baru saja belajar bicara.
”Gilang, aku baru saja menyinggahi suatu tempat yang begitu indah. Tampak kolam-kolam dengan air jernih dan taman-taman yang terawat rapi. Belum pernah aku menjumpai tempat seindah itu. Kemudian aku mendengar nyanyian yang begitu merdu. Merdu sekali hingga hatiku bergetar lembut ketika mendengarnya. Aku pun bertanya pada seseorang yang melintas di tempat itu ’nyanyian apakah itu?’ Dia mengatakan bahwa itu adalah nyanyian surga. Aku ingin kembali ke sana Gilang!”
Aku pun hanya mengangguk tanda setuju dengan apa yang telah kau lihat. Padahal selama ini kau hanya terbaring lemah. Kau menceritakan pada semua orang tentang apa yang telah kau lihat. Hatiku pun bergetar mendengar ceritamu. Terasa begitu aneh. Dan yang tak kalah membuatku kaget adalah ketika kau melakukan tayamum dan beribadah di atas pembaringan itu. Tak pernah ku lihat kau salat dan berdoa sekhusuk itu. Bahkan sebelumnya belum pernah sekalipun aku melihatmu salat karena waktumu banyak dihabiskan denganku.
Aku tertegun melihat perubahan yang begitu drastis pada dirimu. Terus terang aku takut jika harus kehilanganmu. Aku pun sadar untuk memberi ketenangan di dalam ruang itu. Aku keluar dari bilik tersebut. Namun aku kembali dikagetkan dengan raut wajah orang tuamu di luar. Ibumu menangis tertahan. Ayahmu menatapku dengan tatapan mata kosong yang menyiratkan aura kesedihan. Belum sempat aku bertanya apa yang terjadi. Ayahmu memberi selembar kertas. Segera ku buka dan membaca apa isinya. Seperti meledak isi kepalaku. Kertas itu adalah hasil uji laboratorium.
Aku menahan tangis dan berteriak lirih ”Bangsat kau virus iblis”. Setelah itu kepalaku pening dan ku lihat dalam bayanganku, kau jauh terdengar samar menyanyi lagu yang begitu merdu. Entah lagu apa? Mungkin saja nyanyian surga.
Surakarta, 15 April 2008

gambar dari:gumampelabuhan.blogspot.com
Andi Dwi Handoko
Andi Dwi Handoko Pendidik di SMP Negeri 2 Jumantono. Pernah mengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta dan menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar di Solo. Suka mengolah kata-kata di DapurImajinasi dan kadang juga di media massa. Pernah juga mencicipi sebagai pelatih Teater Anak dan Pimred Majalah Sekolah. Suka juga bermusik. Hubungi surel adhandoko88@gmail.com, Instagram adhandoko88, atau facebook.com/andi.d.handoko

1 komentar untuk "Sekelumit Nyanyian Surga"