Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pelukis Wajah


Sejak berkenalan di pameran seni rupa seminggu yang lalu, dia sering mengontakku. Aku pun dengan senang hati menerima telepon atau membalas SMS darinya. Dia salut terhadap tulisanku yang mengupas karya-karyanya yang terpampang di pameran tersebut pada sebuah majalah. Aku memang perempuan pecinta seni dan seorang yang menggeluti dunia tulis menulis. Aku salah satu awak redaksi di majalah tersebut yang mengasuh sebuah kolom seni dan budaya. Biasanya aku hanya meminta esai dari seniman-seniman ternama atau para penulis lepas. Tidak tahu mengapa, setelah melihat pameran di galeri seni itu, aku ingin mengupas karya-karya darinya.
Dia memang pelukis awam dan belum begitu diperhitungkan dalam jagad seni rupa Indonesia. Dia termasuk pelukis muda, kira-kira usainya terpaut tiga tahun di atasku sedangkan aku berumur dua puluh lima tahun. Aku begitu mengagumi karya-karyanya yang sebagian besar beraliran absurd itu. Saat menghadiri pameran itu, aku sempat menyaksikan bagaimana dia meramu cat minyak di atas kanvas putih berukuran sedang. Setiap goresan cat membentuk sebuah alur yang ritmis dan berpadu dengan warna-warna eksotis hingga berakhir dengan lukisan yang terlihat begitu magis.
Semakin hari aku semakin sering menerima telepon dan SMS darinya. Ketika bertemu pertama kali dengannya, dia terkesan sebagai lelaki yang tak banyak bicara. Pandanganku tersebut ternyata salah. Di dalam telepon ia sanggup menciptakan obrolan yang nyaman. Banyak sekali yang kita obrolkan. Dulu memang obrolan hanya terkait dengan dunia kesenian, namun semakin hari semakin merambah ke masalah-masalah lain. Tak jarang pula merambah ke masalah yang agak privasi.
Tidak hanya sebatas obrolan saja, kita juga sering kopi darat dengan mengunjungi pameran-pameran seni atau sekedar mengisi waktu luang dengan menonton teater di Taman Ismail Marzuki. Semakin hari tampak sekali kedekatanku dengannya. Aku wanita, dia laki-laki. Aku gadis, dia masih sendiri. Parasku cantik, dia pun tampan. Walau sebagian besar orang——termasuk aku——mengatakan bahwa cantik dan tampan adalah hal yang relatif. Sebagai wanita aku sangat merasa nyaman sekali jika mendapatkan sebuah perhatian dari seorang laki-laki. Mungkin tidak dapat dielakkan lagi jika rasa itu telah menyepuh hatiku yang selama ini sepi menyendiri.
Dia sering mengajakku mengunjungi galeri pribadinya. Ternyata karya-karyanya sudah begitu banyak. Setiap aku bertanya tentang lukisannya, ia menjelaskan dengan detail proses kreatif dari lukisan tersebut. Dia memang sering melukis sebuah wajah. Dari pengakuannya, ia selalu melukis wajah dengan kombinasi latar dan bentuk yang absurd. Lukisan wajah adalah hasil dari imajinasi liarnya. Ia sendiri tak mengenali setiap wajah yang ia lukis. “Semua serba absurd” katanya. Dia sendiri bingung, kenapa ia sering melukis wajah-wajah yang tak pernah ia lihat dan tak ia kenal. Namun setelah melukis, ia mengaku merasakan sebuah sensasi kepuasan yang luar biasa.
Kita sering bersama, bercanda, bertukar pikiran atau sekedar duduk berdua diam tanpa bicara. Aku pun sering menungguinya untuk menyelesaikan sebuah lukisan. Dia pun semakin sering melukis wajah-wajah yang tak dikenalnya. Wajah dengan latar dan perpaduan warna yang absurd, namun ada simponi dan keeksotisan di sana.
Setelah aku amati secara teliti. Ternyata lukisan-lukisannya kini tampak adanya suatu kekuatan atau barangkali ruh dari lukisan tersebut semakin hidup. Aku pun heran, setiap kali ia melukis wajah, ia selalu membuat wajah dalam lukisannya itu seolah-olah tersenyum. Dan aku pun begitu mengenal senyum itu. Setiap kali ku tanyakan mengapa lukisan wajah yang dibuatnya selalu tersenyum, ia hanya mengatakan tidak tahu. Sungguh aku tak percaya, dalam hati ini berkata bahwa senyum itu seperti senyum yang selalu aku lihat ketika aku bercermin sendiri. Senyum itu seperti senyumku. Mungkin saja dengan kepekaan jiwanya sebagai pelukis, nalurinya menuntun ke sebuah rasa dalam hatiku dan terejawantahkan menjadi sebuah senyuman yang terlukis dalam kanvas putih tersebut.
Dia memang pelukis yang aneh. Setelah menyelesaikan puluhan lukisan wajah dengan latar yang absurb, ia baru menyadari bahwa senyum dari wajah yang dilukisnya mirip sekali dengan senyumku.
“Itu seperti senyummu” katanya.
Aku pun tersenyum simpul dan agak tersipu dengan pengakuannya tersebut. Aku yakin hanya sebuah rasa yang mampu menuntun jari dan tangannya untuk menggoreskan setiap cat minyak dalam kanvas dan membentuk sebuah senyum yang indah. Dan senyum itu adalah senyumku. Narsis sekali mungkin, tapi sebuah keyakinan hati adalah suara yang takkan pernah membelokkan arah. Singkat kata aku bisa menyimpulkan bahwa dia pasti merasakan sebuah rasa yang sama dengan yang aku rasakan saat ini. Rasa yang selalu ingin berada di sampingnya dan mencurahkan segala rasa padanya. Seperti itukah cinta?
Dia semakin dekat denganku, seperti rasa itu yang semakin dekat dan lekat ke dalam lubuk hatiku. Aku merasa menjadi sebuah musim kemarau yang selalu menanti datangnya hujan untuk menghapus dahagaku. Cukup hiperbolis analogiku tadi, namun itulah yang dapat aku gambarkan dari sebuah keinginan agar ia segera mengetuk pintu hatiku dan aku akan mempersilakan ia masuk dengan senang hati. Sebuah angan yang sempurna jika itu menjadi sebuah kenyataan.
Akhirnya teka-teki waktu itu pun terjawab. Ketika itu kita berdua menikmati hidangan makan malam di sebuah kafe. Bagiku malam itu sangat romantis dengan alunan musik jazz yang lembut dan dua lilin kecil yang tak menyilaukan mata. Setelah menyantap makanan, ia menatap aku dalam-dalam. Matanya begitu tenang, seperti oase di tengah padang tandus. Dengan lembut ia meraih tanganku dan mengecupnya lirih.
Dia pun berkata ”Aku ingin kau menjadi bagian dari hidupku, maukah kau menjadi isteriku?”
Dalam hatiku aku berkata ”Begitu lama aku menunggu kata-kata itu, sebuah rasa yang menyakitkan bagiku untuk selalu memendam rasa itu di dalam hati, namun akhirnya kau mengetuk pintu itu. Terima kasih cinta”
Aku tak dapat berkata apa-apa. Aku hanya tersenyum kecil sembari menitikkan air mata bahagia dan tipis menganggukkan kepalaku menjawab pinangannya tersebut.
“Aku akan memberimu sebuah kado yang terindah” katanya lembut.

***
Pernikahan itu terjadi tiga bulan kemudian. Sungguh suatu hal yang sangat membahagiakan bagiku. Duduk dengannya dalam sebuah pelaminan. Mengikat janji setia dengan simbol dua buah cincin yang melingkar manis di kedua jari manis kita.
Dia memang memberiku kado terindah. Sebuah lukisan, sepertinya lukisan wajahku sendiri. Dan yang paling menawan adalah senyum dalam lukisan itu adalah ejawantah dari senyumku sendiri. Senyum paling indah yang pernah ku lihat, bahkan aku belum pernah melihat senyum indah itu dalam cermin ketika aku bercermin sendiri. Narsis sekali pikirku sambil melihat lukisan itu. Dan setelah itu kecupan lembut mendarat di keningku. Hangat bahagia kurasakan.
Setelah dua tahun menikah, kita belum dikarunia momongan. Aku masih bekerja sebagai awak redaksi majalah. Dia pun tetap menjadi pelukis, namun dia juga dipercaya orang tuanya untuk mengurus bisnis properti yang kini sedang melaju pesat. Dengan kesibukan masing-masing, kita sering tak dapat mengatur waktu untuk sekedar ngobrol atau pun menikmati makan malam yang romantis. Ketika ia sedang mempunyai waktu luang, aku sering masih sibuk dengan pekerjaanku. Dia pasti mengisi waktu luangnya dengan melukis. Begitu pun sebaliknya, ketika aku punya waktu luang, ganti dia yang sibuk. Semakin lama hubunganku pun tidak semesra dahulu. Aku takut jika sesuatu yang tak ku inginkan itu terjadi.
Sebagai isteri aku juga merasa memiliki kekurangan. Aku terlalu fokus pada pekerjaan dan tidak pandai memasak. Padahal suami akan merasa bahagia jika istrinya pandai membuat masakan yang lezat. Setiap sarapan hanya ada roti, selai dan segelas susu. Begitu pula jika makan malam, aku hanya bisa memesan atau kita berdua keluar makan di luar. Tampaknya aku harus belajar memasak. Namun untuk kursus memasak di luar, waktuku tak cukup. Ku putuskan untuk minta bantuan kepada Eri sahabatku yang juga awak redaksi di kantorku.
Eri memang pandai memasak. Setiap pulang kantor lebih awal, maka ku minta ia datang ke rumah untuk mengajariku memasak. Untung dia masih single, sehingga punya banyak waktu luang. Kita sering pulang petang, otomatis setiap dia mengajariku memasak, pasti masakan itu adalah hidangan makan malam untukku dan suamiku. Tak jarang pula, Eri ikut makan malam bersama kami.
Usahaku untuk lebih memanjakan suami ternyata kurang berjalan sesuai rencana. Entah mengapa dia malah menjadi semakin dingin padaku. Aku bingung dan sedih. Terkadang air mata ini pun keluar dengan perlahan membasahi halus pipiku. Aku terkadang cemburu, ketika suamiku itu memuji Eri ketika aku belajar masak bersamanya di dapur. Namun aku tak boleh berpikiran yang macam-macam. Eri sahabatku dan aku sangat percaya pada suamiku. Memang banyak seniman yang terkesan playboy, kadang suka serong, namun aku tak bisa melihat sifat itu pada suamiku yang aku sebut pelukis aneh itu.
Aku semakin takut. Sebuah tanda ketakutan itu muncul. Dia masih sering melukis wajah. Tapi lukisan wajah itu kini berubah, tak ada senyum dalam lukisan itu. Apakah rasa itu memudar? Aku semakin cemas. Takut.
Pada suatu hari aku melihatnya sedang melukis sendirian di galeri pribadinya. Mungkin ia terlalu fokus pada lukisannya hingga tak tahu jika aku datang dan berada di belakangnya. Aku mengamati lukisan yang dibuatnya. Sungguh indah, sebuah wajah dengan latar belakang dan warna absurd. Dan aku mengembangkan senyum kecil, dia memoles lukisan itu dengan senyum. Aku berpikir, rasa itu pasti akan kembali. Aku merasakan hawa bahagia pada tubuhku. Setelah lukisan itu selesai, ia meletakkan kuasnya.dan tetap fokus menatap lukisan itu.
Namun setelah lama ku amati, ada yang aneh dalam lukisan wajah yang tersenyum itu. Wajah dalam lukisan itu memang tersenyum. Tapi itu tak mirip dengan senyumku. Aku kembali dicekam rasa cemas. Wajahku mengkerut berpikir siapakah pemilik senyum itu. Aku lebih dekat menatap lukisan itu. Ia masih tak sadar ada aku di sisinya. Aku semakin dalam menatap senyum di wajah lukisan itu. Rasanya aku kenal dengan senyum itu. Tidak asing bagiku senyum yang terlukis dengan latar absurd itu. Aku menitikkan air mata. Lirih aku berucap
“Oh..Eri, sahabatku”

Solo, 26 September 2008
gambar dari: www.irozie.com
Andi Dwi Handoko
Andi Dwi Handoko Pendidik di SMP Negeri 2 Jumantono. Pernah mengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta dan menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar di Solo. Suka mengolah kata-kata di DapurImajinasi dan kadang juga di media massa. Pernah juga mencicipi sebagai pelatih Teater Anak dan Pimred Majalah Sekolah. Suka juga bermusik. Hubungi surel adhandoko88@gmail.com, Instagram adhandoko88, atau facebook.com/andi.d.handoko

Posting Komentar untuk "Pelukis Wajah"