Puisi lagi
Persetubuhan Malam
Suara pelan mengalun
berbisik pada malam yang mengaduh
menelusup ke setiap telinga bergumul remang
Perawan yang tak lagi perawan
Cantik yang tak lagi cantik
begitu tampak gemulai
membuat semacam tarian anjing
melenguh keras hingga dahan purba pun patah
bahkan suara jangkrik berderik
mampu menelanjangi pusara malam
Tak sadar malam menggerayangi
tubuh perawan yang tak lagi perawan
wajah cantik yang tak lagi cantik
dan seusai pagi
bau ikan asin menyambut sinar mentari
mencoba masuk lewat sela-sela
kamar kumuh di tengah kota
Dalam Lemah Malam
Dalam lemah malam
paku-paku menembus jantung insan terlelap
memberikan nisan dalam bujur kaki lemah
tak kuat menahan tangis
hingga ranjang berderit menjelma keranda
suara derak dahan patah
terkulai lembut ke setiap telinga malaikat
merajam matanya yang merah
dan berubah sosok iblis bertubuh putih
berselendang kafan dari sutera
membelah malam dengan sayap melebar
mendesingkan peluru merah tembaga
jatuh tepat di atas ubun-ubun senja
berkarat akhirnya sekarat
tertimbun tanah tak lagi bersekat
dan dalam lemah malam
insan-insan kabur dalam keremangan
terbujur lemah di bawah desingan peluru panas
serta dalam lemah malam
muncul iblis bertubuh putih
yang mengaku malaikat bermata merah…
Bianglala Reformasi
Lelaki tua tanpa kaca mata
Diam Memandang sawah puso
Kemudian bertanya pada jerami-jerami
Inikah akibat reformasi?
Ketika pupuk beranjak naik
Hasil panen meringkuk di kolong tempat tidur
Petani pun berselimut kelaparan tidur di atas jerami
Lelaki itu masih diam
Mencoba mengejawantahkan reformasi
Terus berpikir merenung dalam gejolak pikiran kosong
Mata terlihat merah berduka maya
Nanar memandang sawah puso menjelma rakasasa
Kemudian menelannya ke sebuah lembah
Yang di sebut orang-orang sebagai lembah reformasi masa lalu
Ia sekarang tertidur dalam waktu tak lain dari dulu
Kembali ke masa lalu
Kakinya beranjak bangun dan bergumam
“Apa guna reformasi?!!!”
Menunggu Purnama
Purnama telah usai
Namun kau masih berzig-zag melantunkan kidung asmarandana
Di atas rerumputan setelah berperang kelaparan
Kau buat kaki-kakimu menyilang
Mengapit kerikil batu pada semak kekuasaan
Sesuai iramamu
Tubuhmu bergolek menantang zaman
Tak tahu apa yang baru sadar
Kau membuka ketidakadilan di depan matamu
Kemudian kembali
Mengapit kerikil batu pada semak kekuasaan
Melemparnya ke dalam pasir waktu
Larut dan tenggelam menjadi pusara kematian
Kau tinggalkan risalah pada nisannya
Bahwa kau masih menyuruh liliput di depanmu
Untuk tetap menunggu purnama
Puisi "Bianglala Reformasi" dan "Menunggu Purnama" dimuat di Solopos Minggu, 17 Agustus 2008.
Suara pelan mengalun
berbisik pada malam yang mengaduh
menelusup ke setiap telinga bergumul remang
Perawan yang tak lagi perawan
Cantik yang tak lagi cantik
begitu tampak gemulai
membuat semacam tarian anjing
melenguh keras hingga dahan purba pun patah
bahkan suara jangkrik berderik
mampu menelanjangi pusara malam
Tak sadar malam menggerayangi
tubuh perawan yang tak lagi perawan
wajah cantik yang tak lagi cantik
dan seusai pagi
bau ikan asin menyambut sinar mentari
mencoba masuk lewat sela-sela
kamar kumuh di tengah kota
Dalam Lemah Malam
Dalam lemah malam
paku-paku menembus jantung insan terlelap
memberikan nisan dalam bujur kaki lemah
tak kuat menahan tangis
hingga ranjang berderit menjelma keranda
suara derak dahan patah
terkulai lembut ke setiap telinga malaikat
merajam matanya yang merah
dan berubah sosok iblis bertubuh putih
berselendang kafan dari sutera
membelah malam dengan sayap melebar
mendesingkan peluru merah tembaga
jatuh tepat di atas ubun-ubun senja
berkarat akhirnya sekarat
tertimbun tanah tak lagi bersekat
dan dalam lemah malam
insan-insan kabur dalam keremangan
terbujur lemah di bawah desingan peluru panas
serta dalam lemah malam
muncul iblis bertubuh putih
yang mengaku malaikat bermata merah…
Bianglala Reformasi
Lelaki tua tanpa kaca mata
Diam Memandang sawah puso
Kemudian bertanya pada jerami-jerami
Inikah akibat reformasi?
Ketika pupuk beranjak naik
Hasil panen meringkuk di kolong tempat tidur
Petani pun berselimut kelaparan tidur di atas jerami
Lelaki itu masih diam
Mencoba mengejawantahkan reformasi
Terus berpikir merenung dalam gejolak pikiran kosong
Mata terlihat merah berduka maya
Nanar memandang sawah puso menjelma rakasasa
Kemudian menelannya ke sebuah lembah
Yang di sebut orang-orang sebagai lembah reformasi masa lalu
Ia sekarang tertidur dalam waktu tak lain dari dulu
Kembali ke masa lalu
Kakinya beranjak bangun dan bergumam
“Apa guna reformasi?!!!”
Menunggu Purnama
Purnama telah usai
Namun kau masih berzig-zag melantunkan kidung asmarandana
Di atas rerumputan setelah berperang kelaparan
Kau buat kaki-kakimu menyilang
Mengapit kerikil batu pada semak kekuasaan
Sesuai iramamu
Tubuhmu bergolek menantang zaman
Tak tahu apa yang baru sadar
Kau membuka ketidakadilan di depan matamu
Kemudian kembali
Mengapit kerikil batu pada semak kekuasaan
Melemparnya ke dalam pasir waktu
Larut dan tenggelam menjadi pusara kematian
Kau tinggalkan risalah pada nisannya
Bahwa kau masih menyuruh liliput di depanmu
Untuk tetap menunggu purnama
Puisi "Bianglala Reformasi" dan "Menunggu Purnama" dimuat di Solopos Minggu, 17 Agustus 2008.
Posting Komentar untuk "Puisi lagi"