Puisi
Metamorfosa kali mati
Di kalikali mati darahku membusuk
Mengalir sesuai alur
Menerjang bebatuan hitam cadas
Menuba air semakin pekat
; Merah darah jadi hitam lekat
Di kalikali mati dagingku membusuk
Tersayat perih raungan kekuasaan kota
Menjadi bah besar menakutkan
Tak lagi berpikir tentang kekuasaan
atau
;Sejumput arti kemewahan
Kalau saja mereka datang
menawarkan ladang tandus
maka ku suburkan ketandusan itu
dengan darah dan dagingku yang busuk
supaya mereka mengerti
; di sini kami punya arti
Pagi buat Pengemis
Sepuntung rokok kedaluarsa
Ia keluarkan dari saku kemeja kumal
Menyulut dan menghisapnya pelan
Tak ada secawan kopi atau teh manis
Tak ada roti tawar dengan olesan selai nanas
Tak ada surat kabar pengantar pagi
Ia hanya mampu membaca perjalanan kota yang sia-sia
Setiap gedung, jalan raya, jembatan,
toko, lorong, gang buntu,
bahkan semua yang pernah dilihatnya
dimakan ulat dan tikus pengerat
Dari sanalah ia mengais sisa
dari sebuah perjalanan kota yang sia-sia
Dan ia bangun dari kenikmatan sepuntung rokok kedaluarsa
Menyiapkan sisa tenaga yang ada
lalu berdiri menatap beranda lantai dua rumah seberang jalan
Seorang berjas dasi rapi
Menyeruput kopi ditemani roti
Serta surat kabar di tangan kiri
Dimuat di Solopos, Minggu 19 Oktober 2008.
Gambar dari: www.nationalregister.sc.gov/.../index.htm
Posting Komentar untuk "Puisi"