Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Catatan angka 13 di bulan 11 tahun 2008

Untuk pertama kali aku menangis di atas catatan kematian. Seumur hidup, hingga usiaku kian menjelang senja, hari itu air mata di atas kematian turun perlahan di atas pipi bersama isak yang ku tahan dalam luruhnya perasaan. Aku adalah orang yang jarang menangis, sudah lama aku tak menangis. Mungkin tangis waktu kecilku telah membuat air mata kering, Karena tak dipungkiri waktu kecilku hampir setiap hari aku menangis. Namun aku tumbuh menjadi sebuah batu yang keras, tak luluh dengan sebuah tangis kesedihan. Tapi dan tapi, hari itu tangisku pecah bahkan tak bisa menahannya.
Kakekku meninggal…………………………
Tak ku mengerti ternyata jabat tangannya di malam itu adalah jabatan terakhir untukku. Beliau begitu cepat meninggalkan kesunyian di rumah.
Aku masih ingat ketika aku masih kecil. Waktu sekolah TK hingga hampir kelas tiga SD. Beliau selalu membangunkan aku dengan memijat-mijat kakiku terlebih dahulu. Jika tidak, aku tak akan bangun pagi dan berangkat sekolah. Jika badanku masih ngantuk dan malas, terkadang beliau menggendongku hingga ke tempat mandi.
Tak hanya itu, beliau selalu dengan sabar menyediakan air hangat untuk memandikan aku. Hingga suatu hari, mungkin karena lalai, beliau lupa mencampur air panas dengan air dingin hingga tubuhku terguyur dengan air panas, namun air itu tak begitu panas sehinga tubuhku tak sampai mengelupas, hanya jerit tangisku yang terdengar keras waktu itu.
Setelah mandi, beliau akan menyiapkan sepatu sembari aku memakai baju. Dan suatu kali, niat isengku muncul. Beliau selalu membersihkan sepatuku dengan membalikkannya agar pasir/kotoran dalam sepatu hilang/keluar. Dan ideku cukup membuatnya tertawa gemas. Malamnya aku membawa segenggam pasir dan ku taruh dalam sepatuku. Dan pagi tiba ketika aku sudah siap memakai sepatu, dengan kaget beliau membalikkan sepatuku Karena dari dalam sepatuku keluar pasir yang banyak sekali. Betapa sabarnya beliau.
Beliau juga yang mengajariku untuk memakai sepatu sendiri. Beliau yang mengajari aku bentuk-bentuk tali sepatu yaitu tali kuda dan kupu-kupu. Tali kupu-kupu bagiku waktu itu terlalu sulit, sehingga aku sering menggunakan tali kuda. Hingga sekarang pelajaran darinya tentang tali menali sepatu masih aku gunakan, namun sekarang sudah bisa menali kupu-kupu. Sejenak aku berpikir, dari manakah beliau punya pengalaman menali sepatu, sekolah pun beliau tidak.
Dan kini beliau telah tiada. Ketika aku pulang, tak ada lagi seorang kakek duduk di sebuah kursi kayu di beranda rumah belakang sambil menikmati teh hangat yang biasanya disediakan nenek. Kini shaf shalat berjamaah di mushala samping rumah berkurang. Tak ada lagi kakek menjadi makmum menantunya.
Aku masih ingat betapa beliau sangat begitu mempedulikan barang-barang yang sudah rusak. Sandal-sandal jepit yang sudah putus, ia ambil dan dengan telatennya beliau benahi agar bisa dipakai kembali. Bahkan sering menggunakan paku dan kawat untuk membenahi sandal-sandal tersebut, sehingga suatu kali kakiku sedikit tertusuk paku ketika memamakai sandal tersebut. Untungnya hanya sedikit tertusuk, tidak begitu parah.
Beliau juga yang sering membuang sampah hasil dari limbah warung ibu. Tempat sampahnya pun beliau yang membuatnya. Terbuat dari anyaman bambu. Dipundaknya sendiri tempat sampah itu, kemudian pergi membuangnya di dekat kali yang juga sekaligus untuk menutup pematang sawah yangs sering kali longsor.
Dan baru beberapa bulan yang lalu, beliau dengan kuatnya membuat kayu bakar dari tunggak-tungak pohon yang telah mengering. Aku membantunya, dan itu bukan pekerjaan yang mudah. Aku hanya bisa sedikit sedikit. Di sela-sela aku mengapak kayu bakar, beliau bertanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan kuliahku.
Di waktu kecil aku juga pernah berkhayal dan bermimpi berujud doa, kelak ketika aku mendapat jodoh dan akan dipertemukan dalam ikatan perkawinan, semoga saja kakek masih bisa mendatangi dan melihatku bersanding bersama wanita jodohku. Namun takdir menentukan lain. Kini mimpi dan khayalanku itu hanya sebatas mimpi dan khayalan belaka.
Aku juga berharap ketika aku lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana beliau masih di sisiku. Ketika wisuda akan ku ajak beliau menghadiri acara wisudaku, melihat kampusku, melihat aku memakai toga, dan berfoto bersama. Namun itu hanya harap semu belaka, kini beliau justru diwisuda terlebih dahulu oleh Allah SWT dari hidupnya di alam fana.
Aku juga masih ingat di waktu kecil aku bersama ayahku turun ke ladang ketika hujan untuk menanam kapas. Ketika kami beranjak untuk pulang dan waktu itu hujan sedang deras-derasnya, kakekku justru baru berangkat ke ladang dengan membawa cangkul dan kami berpas-pasan di pematang sawah.
Kini nenekku tidur sendiri di kamar. Kadang kala ketika kakek sedang tidur, dengkurannya sampai terdengar di kamarku. Kini suara dengkuran itu telah tiada. Sering aku berpikir, betapa kesepian nenekku yang setiap hari menyiapkan segelas teh dan camilan untuk kakek di beranda rumah belakang yang kini juga semakin tua dan semakin tua. Kadang untuk bisa berbicara dengannya harus dengan suara keras.
Aku tak pernah berpikir untuk kehilangan kakek secepat ini. Ketika aku berangkat kuliah ke Solo dua minggu yang lalu, kakek masih sehat bugar dan masih kuat menanam kedelai di ladang. Namun seminggu kemudian penyakit hernia (lima belas tahun lalu beliau juga operasi hernia di bagian kanan perut) beliau kambuh (kini bagian kiri) dan hari itu juga langsung masuk RS dan operasi. Menjelang operasi itulah, aku terakhir kali berjabat tangan dengan beliau. Terakhir kali aku memeluknya untuk mendudukkan beliau di kursi roda. Dan kata-kata terakhir yang masih aku ingat ketika aku pamit balik ke solo adalah ”ngati-ati”. Dan aku tak sadar jika kata-kata itulah yang terakhir aku dengar dari beliau. Dan aku tak sempat menjenguknya lagi, Karena tugas kuliahku menumpuk menjelang mid semester. Hanya bertanya kabar lewat SMS ke kakakku.
Dan kini beliau telah tiada, mengakhiri kembara hidupnya di dunia. Aku sedikit bahagia, ketika detik-detik akhir hayat beliau, ayahku dengan sabar menuntun kakek membaca kalimat syahadat. Kakek mengucapkannya dengan suara yang cukup keras didengar dan semakin lama-semakin lelah hingga mengeluh jika ia lelah mengucapkannya. Hingga ayahku menyuruh untuk membatinnya saja. Dan beliau membatinnya dengan sedikit mengerakkan bibir mengucap syahadat. Namun beliau kembali lagi mengucap dengan suara dan membatinnya lagi dank au tak tahu apa yangterjadi setelah itu. Takdir sudah dekat kepada beliau.
Begitu banyak penggalan cerita bersama beliau, beberapa bulan lalu aku dan beliau (hanya berdua) mengolah hasil kedelai yang telah mongering. Hingga larut sore pekerjaan itu belum selesai dan aku masuk ke rumah sebentar untuk shalat ashar. Kakek masih sibuk dengan kedelainya. Aku kembali. Dan menjelang maghrib beliau bertanya padaku “wis ashar ko?” (kakek+keluargaku memanggil aku Koko. Aku jawab “sampun, wau”. Tampak raut kegelisahan padanya, mengapa kau tak mengajaknya tadi. Dengan terburu-buru, beliau mengambil air wudhu dan salat ashar.
Habis lebaran kemarin aku juga sempat mengantarkan beliau pergi ke pasar membeli alat-alat pertanian. Dari situ aku tahu bahwa mental bisnis kakek persis aku, sepertinya beliau tak pandai menawar barang. Aku pun tak dapat membantunya, karena aku memang kurang pandai menawar.
Selamat tinggal kakek…….semoga kau tenang dan damai di alam sana…………..Semoga surga adalah tempat yang layak bagimu…………….
Allâhummagh firlahu, warhamhu, wa ‘âfihi wa’ fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wawassi’ mudkhalahu, waghsilhu bil mâ’i watstsalji wal baradi, wanaqqihi minal khathâyâ kamâ naqqaitats tsaubal abyadha minaddanasi. Wabdilhu dâran khairan min dârihi, wa ahlan khairan min ahlihi, wa zaujan khairan min zaujihi, wadkhilhul jannah, wa’dzihi min ‘adzâbil qabri wa min adzâbin nâr.
“Ya Allah ampunilah dia, sayangilah dia, maafkanlah dia, muliakanlah tempat singgahnya, luaskan tempat masuknya, mandikanlah dengan air salju dan es. Hapuskanlah kesalahannya, sebagaimana bersihnya baju putih dari kotoran, gantikanlah dengan tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya (di dunia), keluarga yang lebih baik dari keluarga di dunia, pasangan yang lebih baik dari pasangannya di dunia, masukkan dia ke dalam jannah, lindungi dia dari adzab kubur dan dari adzab api neraka.”
Andi Dwi Handoko
Andi Dwi Handoko Pendidik di SMP Negeri 2 Jumantono. Pernah mengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta dan menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar di Solo. Suka mengolah kata-kata di DapurImajinasi dan kadang juga di media massa. Pernah juga mencicipi sebagai pelatih Teater Anak dan Pimred Majalah Sekolah. Suka juga bermusik. Hubungi surel adhandoko88@gmail.com, Instagram adhandoko88, atau facebook.com/andi.d.handoko

Posting Komentar untuk "Catatan angka 13 di bulan 11 tahun 2008"