Mimpi Panjang
“Arghh…..! di mana aku ini?” Lirih Lelaki itu bertanya pada dirinya sendiri. Terasa sesak napas mencoba menghirup udara di sekitarnya. Kepalanya pusing seperti terbentur benda keras. Dia mencoba berdiri dengan tenaga yang tersisa. Ia telihat sempoyongan untuk menegakkan badan, agar kuat untuk berdiri. Dan kini pun dia telah berdiri tegak dengan segala rasa yang menyerang tubuh.
“Di mana aku” Ia kembali bertanya pada dirinya sendiri atau ada orang lain yang memperhatikannya. Namun pertanyaan itu hanya hilang tertelan angin. Ia seperti orang asing di tempat itu. Ia tampak bingung dengan keadaan sekitarnya. Jauh ia mengerutkan kulit dahinya hingga membentuk garis-garis yang semakin jelas. Lelaki itu sudah tampak tua. Bahkan usianya kini mungkin sudah menapak ke kepala enam. Jika melihat fisiknya, ia tampak seperti seorang yang usianya sepuluh tahun lebih muda dari usianya sebenarnya.
Ia menjauh dari tempat itu. Berjalan gontai menelusupi kota tempat kelahirannya. Namun ia tampak heran dengan semua yang ada di depan matanya. Ia tak mengenal secara dekat kota yang telah menumbuhkannya menjadi seseorang yang berarti dan mengerti makna kehidupan. Ia yakin benar ia sedang berada di kotanya, namun ia melihat keadaan kota kelahirannya ini jauh sekali perbedaannya dengan keadaan sebelumnya. Ia semakin yakin bahwa kota itu adlah kota kelahirannya dengan membaca sebuah papan yang beruliskan “Selamat Datang di Kota Solo”. Ia terus berjalan mencari sebuah titik terang tentang kebimbangannya. Ia merasa gelisah dan sedikit dicekam ketakutan. Ia tetap berjalan lurus ke depan.
Sejak tadi lelaki itu belum bertemu atau berpas-pasan dengan seorang pun. Sepi. ia hanya mendengar sayup kendaraan-kendaraan kota. Ia terus berjalan, kemudian ia menengok ke sebuah arah. Ia melihat sebuah bangunan yang memanjang dan sangat panjang. Ia mendekati bangunan itu. Dari dalam bangunan itu terdengar suara air yang mengalir. Lelaki itu semakin bingung dan masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang apa yang terjadi sebenarnya. Ia membaca sebuah tulisan yang menyatu dalam bangunan tersebut “ Sungai Bengawan Solo”. Ia kaget dengan apa yang dibacanya. Kemudian ia memasuki bangunan itu. Tampak di depannya sungai yang airnya lambat mengalir. Airnya pun keruh dan memiliki warna yang beragam. bau yang ditimbulkannya pun sangat menyengat. Bahkan mungkin kalau betah berada di dalam bangunan itu selama 3 jam saja sudah pingsan karena bau yang sangat tidak mengenakkan. Lelaki itu menangis. Ia tahu sungai Bengawan Solo yang dulunya sangat indah sekarang sudah ditutup dengan bangunan yang besar dan memanjang, entah sampai di hulu dan di hilir atau tidak. Bangunan itu sangat kokoh dan kuat hingga sebesar apa pun banjir yang ditimbulkan oleh Bengawan Solo pasti tak akan dapat menjebolnya.
Ia kemudian ingat masa lalu, ketika ia masih kecil dan sering memancing di sungai itu. Banyak ikan yang dapat ia pancing. Setelah bosan memancing, biasanya ia kemudian terjun ke dalam sungai untuk sekedar berenang-renang melawan arus yang mengalir dari atas.
Ia meninggalkan tempat itu dan menuju ke sebuah tempat yang tidak jauh dari tempat yang ditinggalkannya. setelah sampai, ia semakin bersedih dan air matanya pun menetes kembali. Ia berada di sebuah pinggir jalan yang padat arus. Ia sangat yakin pada dirinya sendiri bahwa ia mengenali tempat itu. Tempat itu dulu adalah jembatan Jurug yang menghubungkan sebuah jalan raya yang terpisah oleh sungai Bengawan Solo. Sekarang jembatan itu sudah tidak ada. Sekarang sudah tidak ada lagi tempat yang terpisah oleh sungai Bengawan Solo karena bangunan itu telah menghubungkan segala tempat sekaligus menutupi sungai bengawan solo dengan racunnya. Bengawan solo kini seperti parit yang besar yang menghubungkan dan mengitari puluhan kota di Jawa. Ia masih ingat, dahulu ia pernah menyelamatkan seorang mahasiswa yang akan bunuh diri dengan terjun dari jembatan itu karena hamil di luar nikah.
Ia meninggalkan tempat yang ia yakini bekas jembatan Jurug. Ia berjalan di pinggir jalan raya. Kakinya kecil menapak trotoar yang semakin panas oleh sengatan mentari. Peluh terlihat membasahi dahinya, kemudian lambat turun ke sekitar pipi. Ia terus berjalan berpacu dengan kendaraan kota yang melalui jalan. Ia baru menyadari, kendaraan yang berada di jalanan sudah berbeda jauh dengan kendaraan yang dahulu, walau beberapa masih ada yang sama. Kendaraan-kendaraan itu kelihatan nyaman jika dikendarai. Lelaki tua itu ingin naik kendaraan umum yang sedang menunggu di halte, namun ia segera menyadari bahwa ia hanya memiliki sedikit uang. Uang itu diambil dari saku celana batiknya. Hanya cukup untuk makan siang ini. Ia mengembalikan kembali uang itu ke dalam saku celana batiknya. Kemudian ia menata kembali letak blankonnya. Beskap batik yang dikenakannya pun sudah basah karena keringat. Dan sampai saat in, ia belum mengerti mengapa keadaan kotanya berubah drastis. Ia pun tak tahu kapan perubahan itu terjadi, semua sudah tampak berbeda, bahkan jauh berbeda.
Ia berkeliling untuk mencari minuman untuk sekedar mengurangi dahaga yang dirasakannya. Sudah lama ia bejalan namun belum ditemuinya pedagang minuman. Ia ingat dulu di sekitar jalan ini banyak sekali pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai minuman bahkan makanan bunkus atau siap santap degan harga yang murah. Namun keaan seperti berubah 180 derajat, ia tak lagi menemukan pedagang-pedagang. Ia sampai pada perempatan jalan, berharap ada pedagang asongan yang menjajakan minuman dingin bagi pengendar yang terkena lampu merah. Ia pun tidak menemukan pedagang asongan. Lelah sudah ia berkeliling. Ia tak tak tahan dengan dahaga yang dirasakannya. Ia nekad untuk menghabiskan uangnya untuk membeli sebuah minuman kaleng di sebuah toko. Ia menghampiri toko yang berada di pinggir jalan itu dan masuk untuk memilih minuman yang ada di sana. Ia menunjuk sebuah botol air putih , sekiranya uangnya cukup untuk membelinya, walau uang makan siang hari ini yang ia punyai akan habis untuk membeli minuman itu. Ia menyodorkan semua uangnya kepada penjaga toko itu. Namun penjaga toko itu heran melihat uang dan lelaki itu. Penjaga toko menjelaskan kalau uang itu tidak laku, bahkan semenjak dia kecil ia belum pernah melihat bentuk maupun jenis uag yang diserahkan oleh lelaki itu. Lelaki itu pun tidak jadi membeli minuman di sana. Ia semakin bingung dan semakin gelisah dengan keadaan yang dialaminya. Apakah ia terkurung dalam sebuah dunia yang jauh. Tapi ia masih jelas merasakan bahwa ia berada di kota kelahirannya, Solo.
Ia berjalan ke suatu arah. Ia menuju komplek perumahan. Ia ingat jelas bahwa dahulu komplek ini adalah deretan rumah kumuh yang dihuni orang-orang urban yang tidak memiliki rumah tetap di Solo. Termasuk dirinya, ia tibnggakl di komplek itu. Sekarang ia tampak bingung, kenapa begitu cepat waktu merubahnya. Ia mencri rumahnya, namun begitu sulit karena semua sudah berubah drastis. Namun dari firasat hatinya, ia tahu keberadaan rumahnya. Ia begitu kaget, tanah yang dulu ia tempati sebagai rumahnya kini menjadi lapangan tenis yang berpayung atap yan teduh sehingga pemain bisa bermain di sana sepanjang waktu tanpa takut terik mentari. Ia berpas-pasan dnegan seseorang. Kebiasaan orang Solo adalah saling menyapa dan lelaki itu menyapa orang yang berpas-pasan dengannya. Tidak ada sahutan dari orang yang di sapanya. Hal itu berlanjut ke setiap orang yang ditemuinya. Bahkan ia sering di anggap orang gila dengan mengenakan pakaian yang kuno. Budaya saling menyapa atau aruh-aruh pun kini telah menghilang. Ia sadar walaupun letih merayapinya, namun ia masih tampak rapi dan gagah dengan pakaian yang dikenakannya. Ia semakin letih dan letih. Dahaga tak mungkin di tahannya lagi. Ia mencari air, dan ia menemukan air ledeng. Ia segera menuntaskan dahaganya dengan menenggak air yang keluar dari kran ledeng. Ia tak menghiraukan apakah air itu bersih atau tidak.
Ia telah sampai pada suatu Mall yang sangat besar, bahkan ia terperanjat dengan apa yang dilihatnya. Ia baru kali ini melihat bangunan yang megah sebagai pusat perbelanjaan. Ia ingin masuk ke dalamnya, namun penjaga telah mengusirnya terlebih dahulu dengan tidak sopan. Padahal seingatnya, ia belum pernah mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan seperti ini. Ia selalu dihormati di mana ia berada. Ia menagis dalam hati. Air matanya tak lagi dapat keluar. Pelupuk matanya telah membiru, terasa perih jika harus terlewati air mata lagi.
Ia yakin pusat perbelanjaan yang akan di masukinya tadi, dahulu adalah sebuah pasar tekstil. Pasar Klewer. Di sanalah dahulu ia bertemu dengan seorang wanita yang menjadi istrinya. Dan kini pun ia tak tahu di mana istrinya berada. Sebuah kisah cinta terjadi di dalam pasar karena sebuah tawar menawar yang berkepanjangan dan justru sampai di pelaminan. Dan kini pasar itu sudah tak ada lagi, tergantikan gedung mewah yang entah berapa biaya yang dihabiskan untuk membangunnya.
Ia berjalan menjauh dari pusat perbelanjaan itu. Ia berjalan ke selatan berharap ke sebuah tempat yang mana ia selalu mengabdi di tempat itu. Tempat itu adalah Keraton Solo. Ia mencari keberadaan Keraton. Ia tak menjumpainya. Dan sekarang keraton telah tiada, tergantikan sebuah arena permainan bagi anak-anak. Ia semakin menangis haru, bahkan kali ini air mata yang tadi sudah kering, keluar dari matanya lagi. Sungguh hal yang sangat menyedihkan. Ia selalu bangga menjadi sebuah abdi keraton, namun sekarang apa yang dibanggakannya. Keraton pun telah menjelma menjadi taman permainan anak-anak. Sejarah telah tiada. Sejarah telah hilang. Dan sekarang yang jelas orang tak menghargai bahkan tidak tahu sejarah.
Letih tubuhnya telah menjalar ke dalam jiwanya yang gontai. Ia semakin tak kuasa menghadapi kenyataan yang dialaminya. Ia berjalan lagi ke arah barat. Modernisasi telah merubah kotanya. Kota Solo. Kota Budaya. Kini budaya-budaya yang diturunkan oleh nenek moyang berganti dengan sebuah budaya modernisasi. Budaya globalisasi dengan segala kemewahan.
Ia terus dan terus berjalan. Ia tak sanggup menghadapi kenyataan yang telah merubah kota kelahirannya. Sekarang kota Solo bukan lagi kota budaya, bukan tempatnya orang saling aruh-aruh atau berdaya tarik tentang kelembutan. Ia menangis sejasi-jadinya. Air matanya tumpah membasahi jalan yang dilaluinya. Ia meronta-ronta dengan apa yang dialaminya. Ia tak ingin kota Solo menjadi begini. Ia tidak ingin kehilangan kota solo yang penuh dengan budaya, adat, sopan santun dan segala kesederhanaanya yang estetis. Hingga ada sekelompok polisi menangkap lelaki itu karena dianggap meresahkan masyarakat. Ia segera di gelandang ke dalam penjara. Di dalam penjara ia berteriak sekeras-kerasnya. Ia menyebut Solo kota kelahirannya berulang-ulang.
“Solo kembalilah......Solo kembalilah..............”
*****
“Solo kembalilah......Solo kembalilah..............Solo kembalilah.....” Suara lelaki itu tampak membuat orang-orang yang menunggunya menjadi semakin khawatir dengan keadaannya. Sudah tiga hari ini ia pingsan sejak di seruduk oleh kerbau bule sewaktu akan dikirab. Disebuah ruangan di komplek keraton itu, lelaki itu masih mengigau dengan kata-kata yang sama. Orang-orang pun kaget mengapa lelaki itu dapat berbicara dengan bahasa Indonesia. Padahal sejauh diketahui orang-orang, lelaki itu hanya bisa bicara dengan bahasa jawa. Dukun-dukun sudah didatangkan namun ia belum pulih juga dari pingsan dan igauannya.
Menjelang malam, lelaki itu tersentak dan bangun dari pingsannya. Tampak sayu biru menyelimuti warna wajahnya. Ia benar-benar telah sadar. Ia ditanyai beberapa orang yang menungguinya, termasuk istrinya. Ia begitu kangen dengan istrinya, namun ia tidak sempat untuk memeluk istrinya. Ia langsung berlari keluar ruangan. Tampak ia segera bersujud syukur. Ia masih melihat bangunan keraton masih utuh dengan segala aktivitasnya. Dengan dibantu berjalan beberapa orang termasuk istrinya. Ia ingin nekad untuk pergi ke suatu tempat di sekitar keraton. Dan ia telah melihat tempat itu. Pasar Klewer. Ia pun membatin dalam hati,
“Ouh...ternyata semua itu hanya mimpi”.Solo tetaplah Solo, masih seperti dahulu, kaya akan budaya.
gambar dari: www.solonet.co.id
Posting Komentar untuk "Mimpi Panjang"