Cerpen Jurnalistik "Sisi Lain"
Dengan membawa sebuah kamera dan tas ransel yang menempel di punggung, saya berjalan mencari suatu berita tentang kehidupan. Hingga saya menemukan sebuah dunia yang dihuni berbagai macam manusia namun dengan kondisi yang hampir sama. Kondisi yang memperlihatkan ketidakberdayaan dan penderitaan. Tanpa saya sadari, saya mendengar tangisan mereka. Dan lambat laun tangisan itu menjadi lirih. Sayup terdengar isak dan hilanglah suara tangisan itu.
Mereka sebenarnya tak berhenti menangis. Tak ada secuil kiasan yang membuatnya berhenti menangis, Derai tangisan tak meluap dalam air mata saja, namun sudut jiwanya lebih keras mendendangkan jerit tangis. Entah berapa lama air mata itu terkuras dalam linangan pahit namun mereka tetap sanggup untuk tersenyum bahkan tertawa dalam erangan kabut pagi.
Siang ini terasa terik ketika sebuah bus kota melaju dengan meninggalkan residu di penggalan napas bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. Turun merasup dan menjelajah napas yang terengah-engah. Saya berjalan di sebuah trotoar lurus tanpa penghalang. Kanan kiri ditumbuhi bunga berpot besar. Daunnya terlihat kuyup sayu. Mungkin hijau klorofil telah tertutup pekat udara kota .
Saya berjalan terus dan lurus. Sampai akhirnya saya temukan jalan bercabang sebanyak tiga buah. Lurus, terlihat ramai kendaraan berdesak-desakkan karena mungkin jalan semakin sempit bagi mereka. Kanan, terlihat sebuah pemukiman elit yang mungkin dapat membuat orang-orang biasa seperti saya dapat mengeluarkan air liur dengan sendirinya. Tanpa sebuah niat dan dorongan yang jelas, saya langsung langkahkan kaki menembus jalan ke ujung kiri. Merayap seperti cicak yang baru saja memangsa seekor capung yang masuk dalam rumah.
Terlihat mereka di sana. Di ujung jalan yang saya pilih. Mereka melantunkan nyanyian hati, namun ada juga yang sekedar bernyanyi menirukan irama dari sebuah radio usang. Rumah-rumah berdiri membentuk warna sintetis. Senyum manis, tawa setan, kadang tatapan aneh mendarat ke arah saya. Saya terus melangkah diikuti kepakan mata untuk menjelajah ke tempat sekitar. Mulai tumbuh dalam otak saya. Inilah sarang mereka. Sarang sebagai tempat berkumpul wajah-wajah lusuh, kusam, seram, dan di antaranya wajah ramah namun penuh amarah para kaum kelas bawah.
Letih sudah kaki saya untuk berjalan. Saya masuk ke sebuah warung. Es teh manis disambut beberapa gorengan cukup untuk mengurangi rasa lelah. Saya perhatikan penjual yang ramah melayani para pembeli. Tak berapa lama kemudian, datang dua anak berbaju harapan mendekat ke warung. Harapan kecil yang menghiasi kedua matanya. Hati saya merasa pernah melihat mereka. Ya, itu mereka yang tadi terlihat di salah satu rumah di pinggir jalan kecil yang saya lalui. Sebuah lagu harapan mereka nyanyikan.
Penjual warung menengok sinis. Merogoh saku roknya. Sia-sia tak ditemukan sesuatu di sana . Kemudian membuka laci yang berada di depannya. Dari sana ia mengambil sekeping uang dan diberikan kepada kedua anak itu. Tunduk terima kasih mereka haturkan. Baru saya sadari, mungkin yang diberikan penjual warung tadi belum cukup untuk membayar sebuah kerupuk yang baru saja melumpur di mulut saya.
Terjerit hati ini mengakhiri akhir langkah. Lelah tak tertahan dan sudah saatnya pulang. Saya menuju rumah karena petnag sudah membayang. Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan, saya rebahkan tubuh di atas tempat tidur. Letih. Terlelap.
***
Pagi datang. Saya liatkan semangat untuk meneruskan perjalanan ini. Saya sembulkan langkah mulai gang pertama rumah saya. Sebuah bus berhenti karena lambaian tangan saya. Saya naik bus untuk pergi ke tempat kerja untuk menyerahkan hasil reportase dari berbagai macam warna kehidupan. Masih ada cukup waktu karena deadline masih sore nanti.
Di dalam bus, saya memilih duduk di sisi jendela melihat keadaan luar. Saya melihat mereka lagi. Di sini, di sana , dan di mana-mana. Mereka begitu giat menjalani apa yang mereka lakukan, hingga sepagi ini mereka telah menyebar di segala tempat di kota ini. Mereka memendar seperti cahaya mentari yang menebarkan sinarnya ke bumi. Tak terasa waktu mengantarkan ke tempat tujuan. Saya pandang suasana sekitar. Ramai. Tentunya mereka yang telah membuatnya lebih ramai dari suasana yang sebenarnya. Di perempatan jalan ujung sana mereka tampak berkeliaran. Sudut emper toko, trotoar, bahkan di depan beberapa restoran. Tak jarang pula hanya berputar dengan langkah yang terayun pelan.
Ketika saya hendak masuk ke kantor tempat saya bekerja. Dengan sebelah pandang saya melihat sebagian dari mereka lari terbirit-birit tanpa saya ketahui alasannya. Ya, mereka dengan semampunya mendayagunakan tenaga yang ada untuk berlari sekencang-kencangnya. Sejurus saya langsung menatap secara langsung kemudian mendekat untuk memotret dan mengetahui apa yang sedang terjadi. Raut wajah gelisah dan bingung ketakutan terlihat dari sebagian lainnya yang kekuatan fisiknya tak bisa mengayun langkah secara cepat.
Ternyata semua itu terjadi karena ada segerombolan polisi hendak menangkapnya. Mungkin saja mereka tampak kotor sehingga harus dibersihkan dari kota yang rencananya akan dijadikan kota terbersih. Satu per satu mereka ditangkap, diarak dan dipaksa masuk mobil. Tak sedikit yang berontak sehingga gerombolan berseragam itu harus rela menguras tenaganya untuk menjinakkannya supaya mau masuk ke dalam mobil. Saya tak melihat lagi mereka di sini. Mereka telah pergi, ada sebagian pergi entah kemana dan sebagian dibawa gerombolan berseragam tadi.
Tak ayal lagi saya tidak melanjutkan langkah kaki ke dalam kantor. Dengan menyewa tukang ojek, saya mengikuti mobil. Tak berapa lama mobil yang mengangkut mereka berhenti dihalaman kantor polisi. Segera mereka dipaksa untuk masuk ke sebuah ruangan secara bersama-sama, tampak seperti aula namun tampak lebih sempit dengan deretan kursi yang berjejer. Saya mengikuti mereka masuk, namun sebelumnya saya menunjukkan kartu identitas saya sebagai wartawan kepada seseorang yang berseragam coklat di depan pintu. Tampak riuh suara mereka mengisi ruangan tersebut. Ada yang menangis, ada yang mengumpat, namun ada juga yang hanya diam pasrah terhadap nasib yang mempermainkannya.
Saat itulah ada seorang yang berseragam coklat dengan bermacam aksesoris, tampak gagah memasuki ruangan dan segera memberi ceramah walau tampak agak kasar bahasanya..
“Kalian sudah kami peringatkan agar tidak menghuni dan bekerja di tempat-tempat itu, kalian mengganggu fasilitas umum”
Mereka tampak diam dengan ceramah yang kedengarannya sangat membosankan tersebut. Dengan tiba-tiba salah satu dari mereka menanggapi ceramah tersebut.
“Pak apakah kami tak punya hak untuk menggunakan fasilitas umum, kan tadi bapak sendiri yang mengatakan kalau tempat-tempat itu adalah tempat umum”
“Ya, kalian punya hak, tapi perlu kalian ketahui bahwa yang kalian lakukan adalah salah, tidak mematuhi aturan yang berlaku, aturan dibuat untuk dipatuhi bukan untuk dilanggar”
Mereka tampak diam dan tak ada yang berani menanggapi.
“Kalian harus mengubah jalan hidup kalian, bekerjalah dengan wajar, berusahalah dengan upaya yang ada dengan niat yang ikhlas, negara ini semakin terpuruk jika kalian terus saja begini”
Ada diantara mereka yang menanggapi pernyataan tadi,
“Maaf Pak, negara ini akan semakin terpuruk jika yang di atas sana hanya berleyeh-leyeh menikmati singgasana dengan ribuan nafsu bejat, tanpa menghiraukan kami, anak-anak kami dan tentu saja anak-anak bangsa yang telah lama tertindas oleh keadaan serta tak banyak omong tanpa kenyataan seperti juga yang banyak bapak omongkan!”
“Oughh….jadi kamu menantang saya dan semua yang ada di sini?”
“Bukan saya tapi kami”
Serentak mereka menghujamkan pandang ke arah orang yang baru saja berbicara tadi. Tak berapa lama senyum kecil mengembang diantara raut wajah-wajah yang kusut yang berada dalam ruangan itu, kecuali mereka yang berseragam dan termasuk saya sendiri.
“Kalau bapak memang merasa tertantang, maka kami siap dengan segala tantangan walau sebenarnya kami tak sepenuhnya menantang anda, kami bisa merubah nasib kami dalam sekejap”
“Bagaimana cara kalian merubahnya hah…..? dengan mencuri, merampok, korupsi, apa yang mau kalian korupsi, sandal jepit? Ya kalian mau korupsi sandal jepit, bahkan sandal jepit saja kalian tidak punya”.
“Cukup mudah” Seseorang dari mereka berkata. Saya pun heran dengan jawaban dan pernyataan mereka, berani sekali mentalnya.
“Bagaimana cara merubahnya?” Orang berbaju seragam itu dipenuhi berbagai bentuk tanda tanya dalam benak pikirnya.
“Mari kita bertukar baju” jawabnya singkat.
Andi Dwi Handoko, Surakarta , 16 Desember 2007
gambar dari: riolis.files.wordpress.com
Posting Komentar untuk "Cerpen Jurnalistik "Sisi Lain""