Layang layang
Raung suara menggelegar di tengah langit biru. Keras suaranya memecah keheningan angkasa yang telah lama tak terpeluk halilintar di musim hujan. Suara tersebut muncul dari ufuk timur dan mengarah ke barat. Dalam tajam indera manusia seolah suara itu mencari celah jalan di tengah luas langit semesta. Arakan awan turut menaungi suara untuk menemani perjalanannya dan membelah sunyi angkasa. Arakan awan terlihat semampai dengan putih warnanya. Menyeruak di dinding langit yang terpanggang sinar mentari. Jika di pandang dari kejauhan seperti lukisan alam yang menghiasi langit. Putihnya mengingatkan pikir untuk memandang putih melati di pagi hari.
Langkah sepasang kaki kecil lambat laun menjadi ayunan langkah yang cepat. Terlihat menjauh mengikuti arah suara itu akan menghilang. Terdengar soraknya dengan menengadahkan pandang ke arah angkasa. Jerit ceria tanda ia sedang gembira dengan apa yang di lakukannya. Tangan kanannya dilambai-lambaikan seperti riuh lambaian nyiur di pantai yang terhempas angin laut. Ia kemudian bereteriak,
“Pesawatku jangan tinggal pilotmu ini”
Langkah kecilnya kini melambat dan terkesan gontai karena letih berkejar dengan keinginannya. Ia kemudian ingat benda kesayangannnya telah ia tinggal di sebuah tempat karena ia terlalu gembira untuk berkejaran dengan langkah pesawat yang tak mungkin dikejarnya. Ia kemudian berbalik arah mencari apa yang ia tinggalkan. Sebuah layang layang tergeletak di bawah pohon kelapa lengkap dengan benang yang di gulung dalam sebuah potongan bambu. Layang-layang itu segera diraihnya. Ia berlari ke arah lapang. Sebuah ladang yang tak tertanami karena musim kemarau datang. Tak ada air untuk irigasi.
Sebuah layang layang yang hampir sebesar tubuh kecil itu di pegangnya. Amir memegang gulungan dengan kuat dan mencoba menerbangkan layang-layangnya. Tak sulit untuk menerbangkan layang-layangnya. Angin yang cukup besar membantu dengan mendorongkan kekuatannya ke arah layang-layang tersebut. Layang-layang buatan ayahnya itu juga mudah untuk di terbangkan karena kepiwaian ayahnya yang memang ahli membuat layang-layang. Terik mentari masih cukup menyengat. Tak berapa lama di keningnya mulai mengalir sebuah peluh. Hari yang masih panas begini rasanya masih terlalu dini untuk menerbangkan layang-layang. Memang semangat Amir untuk bermain layang-layang tak terhiraukan walau panas memanggang tubuh kecilnya.
Kini ia mengikatkan benang layangnya yang hampir habis gulungannya karena sudah menjulur ke langit untuk mewibawakan layang-layang. Ia mengikatkan ke sebuah pohon turi yang tumbuh pada pematang. Ia menyandarkan tubuhnya pada kecil pohon turi. Sejenak kemudian dipandangnya layang-layang yang telah diterbangkannya. Pandangannya kini menjauh ke sekelilingnya. Terlihat ayahnya dengan membawa sebilah sabit dan sebuah keranjang tempat makanan ternak. Ayahnya menyapa Amir dan menyuruhnya untuk meninggalkan layang-layangnya dan membantu dirinya untuk mencari daun-daun turi untuk persediaan makanan ternaknya. Tak berapa lama kemudian muncul anak-anak lain yang bermain layang-layang di tempat tersebut.
Senja telah menorehkan jingganya. Semburat surya memancar menandakan ia segera tenggelam dalam pelukan malam. Amir segera menggulung layang-layangnya dan bersiap untuk pulang. Ayahnya telah pulang dari tadi karena keranjangnya telah penuh. Tangan kecilnya begitu berat menggulung benang layangnya. Tekanan angin yang berhembus cukup kuat, namun akhirnya ia dapat menyelesaikannya. Langkahnya terayun meninggalkan tempat itu.
Sesampai di rumah, ia mendapati ayahnya sedang meraut sebilah bambu. Ayahnya hanya seorang petani kecil-kecilan, namun ia juga berprofesi sebagai pembuat layang-layang. Layang-layang yang dibuatnya memang cukup bagus dan seimbang ketika dimainkan. Kali ini Amir menatap ayahnya dengan tatapan aneh, terutama jika menatap apa yang dibuat oleh ayahnya. Mata ayah Amir yang menangkap tatapan aneh anaknya segera memberi penjelasan bahwa ia sedang membuat sebuah layang-layang yang luar biasa. Amir semakin dibuat aneh dan penasaran dengan apa yang dibuat ayahnya. Setelah di beri penjelasan oleh ayahnya secara detail maka ia pun mengetahuinya. Ayahnya sedang membuat sebuah layang-layang yang lain dari pada yang lain. Layang-layang ini mirip sebuah pesawat terbang dengan desain tiga dimensi. Ayah Amir mencoba membuatnya setelah ia melihat di sebuah berita di televisi yang menayangkan lomba layang-layang yang menggunakan layang-layang berbagai bentuk dan dimensi.
Ayah Amir memang cukup pengertian terhadap Amir. Ia tahu anaknya suka dengan pesawat, bahkan anaknya itu bercita-cita sebagai pilot. Sungguh hal yang sulit untuk di gapai untuk sekarang ini. Ekonomi keluarga pas-pasan. Mungkin jika kehidupan ekonomi keluarganya tak kunjung membaik, ia hanya dapat menyekolahkan Amir sampai tingkat SMP. Cita-cita Amir memang kuat. Ia suka sekali dengan pilot. Jika ada pesawat lewat, ia segera berlari keluar rumah dan meneriakkan ke arah pesawat itu berbagai kata-kata impiannya. Impiannya kini hanya sebatas ia bermain dengan layang-layangnya yang ia sering menghayalkannya sebagai pesawat.
Tak sampai dua hari layang-layang dengan bentuk pesawat itu pun telah selesai. Sungguh layng-layang yang indah. Bentuknya hampir serupa dengan bentuk pesawat yang sering dilihat Amir. Amir begitu senang dengan apa yang dibuat oleh ayahnya. Sayang, layang-layang itu selesai pada malam hari sehingga ia harus menunggu besok untuk menerbangkannya. Namun ia tak kecewa, ia segera mempersiapkan layang-layang itu agar besok langsung dapat diterbangkan. Ia mengambil segulung benang gelasan dan mengikatkannya pada titik dan bagian tertentu pada layang-layang tersebut sesuai petunjuk ayahnya. Ia sudah tak sabar menunggu hari esok.
Malam telah larut. Sudah saatnya insan-insan memejamkan mata dalam lelap malam. Begitu pula Amir yang lelah bermain layang-layang seharian. Matanya telah kantuk menginginkan terlelap. Layang-layang itu dibawa Amir ke dalam kamar. Di tempatkannya pada sudut kamar. Dipandangnya lagi layang-layangnya itu. Tampak senyum ceria di raut wajahnya. Ia beranjak ke tempat tidur. Kantuk semakin menyelimuti mata, namun tak juga terlelap. Pikirannya mulai menembus alam hayal. Berhayal kelak ia akan menjadi pilot yang handal. Lalu ia melirik layang-layang di sudut kamar. Sejenak layang-layang itu berubah menjadi pesawat yang besar. Mampu mengangkut puluhan bahkan ratusan penumpang. Ia duduk di kemudi pesawat dengan dibantu awaknya. Ia pacu pesawatnya dan lepas landas meninggalkan bandara. Sungguh hal yang membahagiakan. Ia terbang menyusuri awan putih yang hanya bisa di pandang insan-insan dari daratan. Terbang jauh di awang-awang. Amir tersenyum sendiri dengan perjalanan hayalnya. Malam bertambah larut. Senyum kecil itu menipis kemudian membawa si empunya terbang dalam lelap mimpi malam.
Pagi yang cerah dengan sejuk embun yang berkilau. Mata kecil itu terbuka dan langsung menatap ke arah sudut kamar. Senyum kecilnya mengembang setelah matanya menangkap gagah layang-layang berbentuk pesawat. Ia tak sabar ingin menerbangkannya. Namun ia ingat, ia harus mengerjakan tugasnya yakni sekolah. Sekolah sebagai pintu meraih cita. Sekarang ia duduk di kelas empat SD.
Rasanya lega setelah seharian bergelut dengan guru dan buku pelajaran di sekolah. Tak luput juga bekumpul dengan teman sebayanya.Amir bergegas pulang. Diambilnya makan siang. Siang begitu panas. Terdengar ayahnya memanggilnya. Ayahnya menyuruh untuk membeli bensin di warung bu Jono yang dekat dengan rumahnya. Bensin itu digunakan untuk mengencerkan lem yang digunakan untuk merekatkan kertas atau plastik pada kerangka layang-layang. Di butuhkan lem dengan daya rekat kuat.
Terik siang hari mulai mereda. Tangan kecil Amir membawa layang-layang yang siap untuk diterbangkan. Layang-layang tiga dimensi dengan bentuk pesawat. Namun tempat ia bermain layang-layang telah penuh oleh teman-temannya yang lain. Ia takut sulit untuk menerbangkan miliknya. Ia menghentikan langkahnya dan berpikir sejenak. Di halaman rumah pun jadi. Ia pun kembali ke rumah.
Di halaman rumahnya yang cukup luas, Amir menebangkan layang-layangnya. Cukup mudah menerbangkannya. Angin cukup kuat untuk mengangkat tinggi layang-layangnya. Layang-layang pesawat pun mengudara di tengah langit biru. Seraut wajah Amir tampak bangga. Ayahnya turut melihat dan memberi semangat.
Rasa puas memancar dari wajah Amir. Namun sepertinya ada yang masih kurang. Ide kreatifnya muncul. Di turunkannya lagi layang-layangnya. Ayahnya tak menghiraukan apa yang di lakukan oleh Amir karena sedang sibuk dengan layang-layang buatannya. Setelah laynag-layang itu turun, ia berlari ke arah samping rumah. Di san ada sebuah pohon keluwih yang cukup besar. Ia mencari sesuatu di sekelilingnya. Ia menemukannya. Sebuah kembang keluwih yang telah kering. Orang-orang sering menyebutnya dengan nama "babal". Ia memotongnya menjadi dua dan menyelipkannya pada dua sisi layang-layangnya. Di sulutnya kembang keluwih itu dengan korek api. Asap mengepul dari kedua sisi layang-layangnya.
Diterbangkannya lagi layang-layangnya. Seperti pesawat sungguhan yang mampu mengeluarkan asap. Ia berdecak puas dengan kreativitasnya. Ia menarik-narik benang layang untuk mengemudikannya. Namun secara tiba-tiba angin berhembus sangat kencang. Layang-layangnya menukik ke bawah. Hilang dari singgasana langit.
Angin kembali melambat. Ia melihat layang-layangnya jatuh di sekitar warung bu Jono. Ia menggulung benang layang seadanya dan berlari hendak mencari layang-layangnya. Belum jauh kakinya berlari, terdengar ledakan yang cukup kuat dari arah yang ia tuju. Tak berapa lama, orang-orang berlari dan berteriak, "kebakaran.....!!! kebakaran......!!!warung bu Jono kebakaran....!!!".
Surakarta, 27 April 2007
gambar dari:mrfajarsyah.files.wordpress.com
Terima kasih infonya
BalasHapus