Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Perempuan dalam Beranda


Perempuan itu suka duduk di beranda. Duduk di sebuah kursi rotan memandangi depan rumah tanpa halaman. Di depan beranda hanya pagar untuk membatasi antara rumah dan jalan. Ia paling suka duduk di beranda saat pagi dan sore hari. Tak ada suguhan kopi ataupun teh jika ia sedang duduk di beranda. Hanya tatapannya saja yang tampak berisi menikmati pemandangan di depan rumah dan tangannya sekali-kali membuka buku kecil yang selalu dibawanya Tampak hilir mudik kendaraan dari arah kiri dan kanan. Terkadang suara tukang sayur dan penjual bubur ayam menjadi pendongeng pagi di setiap sela kanan kiri telinganya.
Seperti pagi itu. Ia tampak menikmati keramaian di depan rumahnya. Dingin pagi hari di musim kemarau begitu menggigit kulit, namun ia tetap suka duduk dalam beranda. Ia percaya bahwa udara pagi yang tersinar matahari cukup untuk menghangatkan tubuh. Senyumnya begitu indah dengan balutan jilbab putih yang rapi. Tampak estetis sekali jika ada seorang pelukis yang mau melukisnya dalam beranda di pagi itu. Sebuah suara menelusuri lekukan rongga telinganya. Ia pun bangkit dari duduknya, menjauh dari beranda, mendekati suara itu.
“Dua mangkuk pak”
“Baik Neng”
Dua mangkuk bubur ayam sudah berada dalam tangan Nisa. Ia masuk ke rumahnya. Menyantap hangat bubur ayam bersama suaminya tercinta. Dan setelah itu, ia duduk kembali dalam beranda. Duduk di sana. Suaminya datang menghampiri. Nisa bangkit dari duduknya dan menyalami dan mencium lembut tangan suaminya dan berakhirlah adegan mesra itu dengan ucapan assalamualaikum oleh suaminya dan jawaban wa’alaikum salam oleh Nisa.
Seperti tak ada yang lain dilakukan Nisa. Ia kembali duduk dalam beranda. Kini ia sambil memandangi sebuah bunga mawar. Bunga mawar dengan sebuah mahkota yang beberapa hari lalu mekar merah merekah dan kini mulai kecoklatan tanda usia menua. Mungkin beberapa hari lagi bunga itu akan layu kemudian kering. Seperti halnya manusia semakin lama maka akan semakin layu sayu kemudian menghadap sang illahi.
Orang-orang tidak tahu mengapa Nisa suka duduk dalam beranda. Bisa dikatakan ia jatuh cinta pada beranda. Namun apa yang membuatnya jatuh cinta. Di sana ia jarang duduk bersama suaminya. Tak ada tanaman hias kecuali bunga mawar yang sudah mulai layu. Tak ada taman dengan kolam ikannya. Lantas apa yang membuatnya jatuh cinta pada beranda. Atau ia suka beranda karena pengucapannya hampir sama dengan keranda. Dengan kata lain ia rindu terhadap surga. Taman firdaus Allah yang selalu dirindukan oleh umat-Nya yang beriman. Itu mungkin saja, kerena dunia penuh dengan kemungkinan.
Seorang nenek penjual sayur keliling menghampirinya.
“Kenapa suka duduk di beranda sendirian Neng? Tidak baik untuk seorang perempuan bersuami seperti Neng ini”
“Tidak kenapa-napa Nek!, saya sedang menunggu suami pulang”
“Kan bisa di dalam rumah Neng!”
“Saya ingin suami saya ketika kembali dari bekerja, yang pertama dilihatnya adalah saya Nek. Saya akan merasa bersalah ketika suami saya kembali bekerja dan yang pertama dilihatnya adalah beranda rumah yang kosong”
Tak ada suatu jawaban yang memuaskan dari Nisa. Nenek itu seakan tidak percaya dengan alasan tersebut. Semesra-mesranya suami istri, akan tampak berlebihan jika seorang istri melewatkan hampir seluruh hari dengan selalu duduk di beranda hanya untuk menunggu suaminya datang dari bekerja.
Kemudian datang salah seorang ibu yang tak lain adalah tetangga Nisa yang berada di sebelah rumahnya. Dengan percakapan pengiring ringan yang tak terlalu lama. Ibu itu mengumpulkan sebuah keberanian yang telah lama dipendamnya untuk bertanya pada Nisa. Nisa hanya menjawab sama persis dengan jawaban yang diberikan nenek penjual sayur tadi.
Tidak hanya satu dua orang itu yang suka menanyai tentang kebiasaanya duduk di beranda. Banyak yang telah bertanya padanya, namun hanya jawaban yang sama mereka terima. Tidak lebih dari jawaban bahwa Nisa menunggu suaminya pulang.
Tidak puas dengan jawaban yang sama. Maka orang-orang pun mencoba bertanya pada suami Nisa. Lelaki yang terkenal sikapnya yang agak keras itu pun menjawab sama dengan apa yang dikatakan Nisa. Dan inilah alasan membuat suami Nisa bersikap keras terhadap orang-orang di sekitarnya. Orang-orang di sekitarnya selalu mengejar-ngejar apa yang harus menjadi kepentingan pribadinya. Bersikap suuzon terhadap istri dan dirinya sendiri. Bahkan pernah ada suatu pembicaraan bahwa istrinya itu kurang waras dan kurang kerjaan karena ia sebagian besar waktunya dihabiskan dengan hanya duduk di beranda dan sesekali membaca buku kecil yang selalu dibawanya. Suami mana yang tidak merasa panas dengan tuduhan seperti ini? Namun sekeras apa pun dia, terhadap Nisa ia selalu lembut dan tak ada sekat yang membatasi kasih sayang untuk istrinya yang baru dinikahi satu tahun yang lalu.
Senja datang bersama alunan suara azan magrib yang juga turut andil menidurkan mata ayam-ayam yang telah berkeliaran sehari penuh. Di beranda itu, Nisa menyambut suaminya kembali dari tempat kerja. Dengan manis senyumnya, ia menjawab salam suaminya. Seolah-olah itu adalah senyum bidadari dari surga.
Setelah berganti baju, suaminya mengambil air wudhu dan disusul juga oleh Nisa. Mereka salat magrib secara jamaah. Rumah yang ditempati Nisa bersama suaminya memang kecil. Satu ruang tamu yang sempit, dapur, dua buah kamar dan sebuah kamar mandi. Untuk tetap mengingat dan beribadah kepada Tuhan. Mereka menjadikan sebuah kamar untuk dijadikan tempat salat. Semacam musala pribadi di dalam rumah.
Selesai salat, keduanya makan malam.
“Ini mas, opor kesukaanmu buatan Bu Darsi yang sebelumnya sudah saya hangatkan”
“Bukan kesukaanku tapi kesukaanmu juga”
Tampak sekali kebahagiaan menyelimuti kedua pasang insan suami istri tersebut. Dan malam semakin meninggi. Sudah waktunya insan-insan terbuai dalam lelap.
Malam itu Nisa tak dapat tidur dengan nyenyak. Di pandanginya wajah suaminya yang tertidur pulas di sampingnya di antara remang ruang. Hanya sekelumit cahaya dari luar yang masuk dari celah jendela kamar, karena lampu kamar di matikan. Nisa gelisah dan tak bisa tidur. Dengan menajamkan sorot matanya, ia mencoba melihat jam dinding yang tergantung di tembok.
Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Dari beranjak tidur jam sembilan tadi. Ia hanya memejamkan mata namun alam sadarnya tetap terjaga. Suara-suara orang yang kerap bertanya tentang kesukaanya di beranda itulah yang membuatnya gelisah. Intuisi menggerakkannya untuk keluar dari kamar. Ia menuju ke beranda. Tampak mata yang tadinya gelisah kini menjadi tenang. Entah aura apa yang ada dalam beranda itu, sehingga dapat dengan mudah menyepuh dan melepaskan kegelisahan yang menggerogoti separuh malamnya.
Ia duduk memandangi jalanan yang melenggang sepi di depan rumahnya. Suara serangga malam menjadi lantunan alam yang meneduhkan pikirannya. Tak berapa lama, matanya berkaca-kaca. Satu dua tetes air mata mengalir melewati lembah pipinya yang begitu halus. Berulang kali ia mengucap astagfirullah… astagfirullah…. astagfirullah..!
Ia masuk ke dalam rumah. Dan tak lama kemudian ia kembali ke beranda dengan sajadah dan mukena putih bersih. Raut wajahnya tampak segar setelah tersiram sucinya air wudhu. Di beranda itulah ia bertahajud. Bermunajat tentang apa yang harus ia lakukan dalam hidupnya. Meminta ampunan dan ridha dari Allah agar diberi petunjuk dan jalan yang lurus. Dalam sejuknya udara dini hari, ia melantunkan dzikir-dzikir kudus. Sepoi dini hari pun ikut bertasbih memuja penguasa alam dengan desis lirihnya. Doa Nisa beriring dengan tetes air mata. Suci air matanya, sesuci bening hatinya dalam meminta perlindungan Allah.
Cahaya mentari pagi pun datang kembali berkejar dengan kicauan burung-burung yang akan menjelajahi dunia. Nisa sudah duduk dalam berandanya. Dan pagi itu. Ia kembali di datangi seorang ibu dengan tubuh yang agak tambun. Jilbab coklat tua yang dikenakan ibu itu,tampak sudah usang, namun tetap membawa sebuah aroma seorang muslimah. Seperti orang-orang yang mendatangi Nisa sebelumnya, ibu itu juga bertanya hal yang sama terhadap Nisa.
“Mengapa kau suka duduk di beranda?”
Kali ini Nisa tak langsung menjawab dengan jawaban yang sudah biasa ia lontarkan. Ia terdiam lama. Wajah ibu itu seperti wajah mendiang ibunya. Suara dari ibu itu seperti telah meluluhkan hatinya untuk tidak menjawab dengan jawaban yang biasa. Walaupun sebenarnya jawaban yang sering ia lontarkan tidak ada sekecilpun kebohongan di dalamnya. Namun ada satu jawaban yang sangat berat ia lontarkan yang selalu dipendamnya selama ini. Dengan suara serak akhirnya ia menjawab pertanyaan itu.
“Saya suka di beranda karena saya tidak suka di dapur”
“Jadi kau tak bisa memasak?”
Nisa mengangguk pelan seiring indah matanya mengeluarkan bulir-bulir air mata.

Surakarta, 9 Mei 2008
Sebuah inspirator untuk seseorang calon pendamping hidup
gambar dari: i203.photobucket.com
Andi Dwi Handoko
Andi Dwi Handoko Pendidik di SMP Negeri 2 Jumantono. Pernah mengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta dan menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar di Solo. Suka mengolah kata-kata di DapurImajinasi dan kadang juga di media massa. Pernah juga mencicipi sebagai pelatih Teater Anak dan Pimred Majalah Sekolah. Suka juga bermusik. Hubungi surel adhandoko88@gmail.com, Instagram adhandoko88, atau facebook.com/andi.d.handoko

1 komentar untuk "Perempuan dalam Beranda"