Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pendakian Gunung Lawu

- Cemoro Sewu -
Liburan yang begitu panjang begitu membekukan otak dan juga otot. Otak dan hasrat berinisiasi untuk melakukan hal yang menarik. Sudah lama sekali tidak merasakan hawa pegunungan yang sejuk dan dinginnya sapuan angin di atas sana. Ada keinginan untuk menyusul puncak demi puncak. Yah terlalu lama aku menuangkan kata-kata di atas, sebetulnya ditengah liburan yang panjang aku cuma ingin naik gunung. Begitu.
Pertama keinginan saya adalah mendaki Merbabu. Tapi akhirnya malah kebujuk rayu untuk mendaki Merapi melalui program pendakian massal. Walau dulu aku pernah ke merapi tapi gak apa-apalah dari pada tidak muncak. Akan tetapi karena suatu hal, ke Merapi juga batal.

Mencari alternatif lain, akhirnya saya mengajak seorang teman untuk mendaki Gunung Lawu. Dengan modal niat dan nekad, akhirnya kita bersiap untuk menaklukkan gunung Lawu. Kami berdua mencari teman untuk menambah rombongan. Akan tetapi kami hanya dapat tambahan satu orang, itu artinya kami akan mendaki Lawu dengan jumlah tiga orang. Padahal menurut mitos, mendaki gunung dengan jumlah ganjil apalagi tiga orang itu pamali. Tapi dengan niatan yang bersih dan tulus, kami akan menaklukkan puncak Gunung Lawu.
Rencana mendaki lawu dan persiapannya tidak membutuhkan banyak waktu, cukup 4 hari itu pun dimulai dari titik nol. Dari tiga orang, yakni saya, Joko, dan Totok belum pernah mendaki lawu, malah Joko dan Totok belum pernah sama sekali mendaki gunung. Kalau boleh dibilang, kami adalah anak-anak nekad...peralatan pun hanya seadanya..rencananya kami akan melakukan pendakian sabtu malam minggu tanpa ngecamp karena kami memang tidak punya dome untuk sekadar istirahat di tengah perjalanan.
Sabtu, 8 Agustus 2009...kami baru mencari konsumsi dan segala sesuatunya yang dibutuhkan untuk bekal perjalanan ke puncak. Dari solo kami berangkat sekitar pukul 15.30 WIB. Sampai di Cemoro Sewu sekitar pukul 16.30 WIB. Kami memang merencanakan untuk mendaki lewat cemoro sewu dan turun di cemoro kandang...jalur cemoro sewu dan cemoro kandang terpisah tidak jauh walaupun jalan masuk jalur ini sudah berbeda propinsi yakni cemoro kandnag ikut jawa tengah dan cemoro sewu ikut jawa timur. Hanya dipisahkan oleh batas jalan propinsi.

Kami istirahat mengumpulkan tenaga di basecamp cemoro sewu, sambil sesekali jalan-jalan di luar menikmati udara berkabut dan nikmatnya somay yang dijual keliling. Sebelum berangkat kami sempat mencicipi soto yang dijual di dekat basecamp. Sekitar pukul 21.30 WIB kita melakukan pendakian. Tapi sebelumnya kita mendaftar dulu di pos cemoro sewu. Rincian biaya di cemoro sewu adalah:
Tarif titipan sepeda : @ Rp. 5.000,00
Harga soto : @ Rp. 5.000,00
Tarif pendaftaran : @ Rp. 5.000,00
Dari pos cemoro sewu kita berjalan santai menuju pos 1... di jalur cemoro sewu ada 5 pos yakni:
Pos 1 : Wesenan........2 KM dari basecamp
Pos 2 : Watugedhek..2 KM dari pos 1
Pos 3: Watu gedhe....0,7 KM dari pos 2
Pos 4 : Watu kapur...1,2 KM dari pos 3
Pos 5 : Jolotundo....0,3KM dari pos 4
Puncak tertinggi : Hargo Dumilah..0,8KM dari pos 5.
Perjalanan dari pos cemoro sewu sampai pos 1 sangat menyenangkan. Di sini kami bisa meregangkan otot sebagai pemanasan untuk sampai ke puncak. Jalurnya landai, dan jalannya sudah ditata dengan bebatuan. Walau begitu kami juga kadang disuguhi beberapa tanjakan, akan tetapi tidak terjal. Perjalanan bisa sangat santai sambil memandangi pemandangan di sekitarnya. Karena mendaki waktu malam, kami menggunakan cahaya senter untuk menerangi jalan. Akan tetapi pada waktu itu cahaya bulan juga bersinar cerah sehingga kadang kami tak memerlukan cahaya dari senter yang kami gunakan.
Berjalan di bawah sinar bulan menuju puncak, terasa sangat mengesankan. Pohon-pohon cemara seperti menaungi perjalanan kita. Tampak siluet bukit-bukit di pandangan mata. Kami juga disuguhi pemandangan ladang-ladang yang digarap penduduk sekitar. Di sana kami juga masih menemukan sisa pohon-pohon yang terbakar beberapa tahun lalu. Kami sampai di Pos 1 sekitar pukul 10.45. Di sana ada semacam bangunan yang kadang kala digunakan untuk berjualan jika pendakian sedang ramai seperti pada satu sura dan tujuh belas agustus.

Perjalanan agak terjal setelah pos 1 menuju pos 2. Dengan semangat membara dan ditemani cahaya bulan yang semakin terang kami langkahkan kaki kami. Karena mulai terjal, kami sering beristirahat untuk sekadar mengatur irama pernapasan. Akan tetapi istirahat tidak boleh lama-lama, karena suhu semakin dingin dan dapat membuat tubuh yang sudah panas menjadi dingin dan akhirnya drop. Kami juga sempat melihat beberapa bongkah batu yang salah satunya mirip dengan bentuk ayam jago. Orang-orang menyebutnya Watu Jago. Watu Jago disebut sebagai tempat yang dikeramatkan.
Akhirnya sekitar pukul 00.30 kami sampai di pos 2. Di pos 2 kami sempat membakar parafin untuk memanaskan badan. Saya pun bertelepon ria dengan seseorang karena sinyal IM3 di pos sangat banyak. Akan tetapi suhu yang dingin membuat baterai HP cepat drop. Akhirnya sekitar pukul 01.00 kami mulai naik untuk menuju pos 3.
Perjalanan menuju pos 3 semakin menanjak. Dalam beberapa langkah kami pun semakin sering istirahat. Di sana pun kita bertemu rombongan pendakian masal dari Pacitan yang salah satu anggotanya cewek ngedrop dan pingsan. Kabarnya cewek yang pingsan tadi ternyata lagi menstruasi. Padahal untuk mendaki gunung ada semacam larangan dan mitos bahwa perempuan yang sedang menstruasi dilarang untuk naik gunung. Dari segi ilmiah memang benar, karena pada saat menstruasi fisik dan psikologis akan bersifat lebih labil.

Sekitar jam dua kurang kami sampai di pos 3. Di sana ada beberapa pendaki yang sedang istirahat dan membuat api unggun di tengah pos. Kami hanya istirahat sebentar dan meneruskan perjalanan. Namun tidak jauh dari pos 3, kami pun mulai kelelahan lagi. Kami istirahat di tengah-tengah jalan setapak dan merebus air untuk menyeduh kopi agar dapat menambah tenaga kami.
Perjalanan menuju pos 4 sangat mengesankan. Jalur tetap mendaki, angin gunung pun semakin bertiup kencang. Hawa dingin semakin merasup ke dalam tubuh. Sesampai di pos 4 kami disuguhi pemandangan alam yang sangat mengesankan. Inilah karya agung Tuhan yang maha Esa. Kami melihat lampu-lampu kota di bawah. Di sana juga terlihat Telaga Sarangan yang memantulkan cahaya bulan. Benar-benar pemandangan yang estetis. Di dalam keremangan saya mengucap syukur. Sangat berguna untuk menambah tenaga dan semangat untuk mendaki lagi, menuju puncak.
Angin semakin berhembus kencang. Kami sesekali istirahat sejenak dan tak berani untuk berlama-lama istirahat. Kami sampai di pos 5 dan terus berjalan hingga sampai Sendang Drajat...di sana kami menjumpai rombongan yang menggunakan goa untuk istirahat. Saya pun mencari tempat untuk istirahat, karena pada waktu itu menunjukkan pukul 03.30 WIB. Kami masuk ke dalam goa yang tak terlalu dalam di samping Sendang Drajat. Saya juga menyempatkan untuk melihat ke dalam Sendang Drajat. Ternyata air sendang tersebut surut dan mulai mengering. Menurut kepercayaan masyarakat, air Sendang Drajat dipercaya dapat menaikkan derajat seseorang dengan melakukan ritual khusus dengan air tersebut.
Kami memasak mie di dalam goa menggunakan kompor parafin. Tak habis akal kami membuat satu kompor lagi dengan penyangga batu. Satu masak mie, satu merebus air untuk minum. Memang benar, lapar dan letih serta suasana gunung yang dingin membuat selera makan kami besar. Rasa mie yang biasanya biasa-biasa saja, di sana menjadi super lezat dan cukup menambah stamina tubuh.
Setelah pukul 04.30 kami bergegas untuk menuju puncak. Namun beberapa langkah dari sendang drajat, kami berhenti untuk melakuakn salat subuh. Karena tak ada air maka kami bertayamum. Dengan beralaskan mantel kami melakukan subuh di tempat yang terbuka, di samping kami semak-semak dan juga ilalang. Udara sangat dingin menusuk tubuh kami. Setelah salat, kami meneruskan perjalanan. Di perjalanan kami berhenti untuk menikmati sunrise, karena jika kami tetap nekad terus berjalan ke puncak, mungkin kami akan kehilangan untuk menikmati sunrise. Kami pun mengabadikan pemandangan yang jarang kami dapatkan dengan kamera.

Setelah puas menikamti sunrise dan matahari pun sudah beranjak naik. Kami berjalan menuju puncak Hargo Dumilah, langkah kecil juga kadang disertai lari-lari, kami menuju puncak tertinggi lawu. Akhirnya, kami pun selamat sampai puncak Hargo Dumilah yang tingginya 3265 dpl. Di sana ada jalak gading yang liar namun jinak. Jalak gading dipercaya sebagai binatang yang keramat, maka para pendaki dilarang mengganggunya. Bahkan di basecamp Cemoro Sewu ada larangan untuk mengganggu jalak gading. Ada juga anggapan, semisal ada pendaki yang tersesat, jalak ganding akan memberi tahu arah jalan yang benar.

Setelah puas menikmati tiupan angin, dinginnya puncak Hargo Dumilah dan pemandangan yang mengesankan dari pucnak tertinggi lawu. Kami memutuskan untuk turun melalui jalur Cemoro Kandang. Kami mampir dulu sejenak di Hargo Dalem. Dari Hargo Dalem kami turun, waktu itu menunjukkan sekitar pukul 07.30 WIB.
to be continue
Andi Dwi Handoko
Andi Dwi Handoko Pendidik di SMP Negeri 2 Jumantono. Pernah mengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta dan menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar di Solo. Suka mengolah kata-kata di DapurImajinasi dan kadang juga di media massa. Pernah juga mencicipi sebagai pelatih Teater Anak dan Pimred Majalah Sekolah. Suka juga bermusik. Hubungi surel adhandoko88@gmail.com, Instagram adhandoko88, atau facebook.com/andi.d.handoko

1 komentar untuk "Pendakian Gunung Lawu"