Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Literasi Keluarga Cara Tradisional di Era Digital

pixabay.com
Tak dimungkiri lagi sekarang dunia digital merambah ke segala bidang kehidupan. Kebiasaan orang-orang berubah. Semua serbamudah dan serbainstan. Gaya hidup anak-anak sampai dengan yang tua berubah mengikuti arus zaman. Meskipun demikian, masih ada juga beberapa orang yang menggunakan gaya hidup yang lama. Bisa jadi karena prinsip hidup ataupun kondisi hidup.

Anak-anak “zaman now” sudah fasih menggunakan gawai terutama ponsel pintar. Bahkan mereka lebih cepat paham daripada orang yang memberikannya, yang tak lain adalah orangtuanya sendiri. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan adalah mereka menggunakan gawai itu lebih ke arah produktif atau konsumtif? Edukatif atau nonedukatif?

Di saat anak-anak menggandrungi gawai, berapa banyak buku yang menjadi teman mereka sehari-hari? Menurut data penelitian Central Connecticut State University (CCSU) bertajuk World's Most Literate Nations yang dirilis tahun 2016 lalu, perilaku literasi Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei (Sumber baca DI SINI). Jika hanya mengacu data ini, bisa dikatakan kondisi literasi di negara ini sedang “sakit”. 

Penyakit literasi sebenarnya bisa disembuhkan walaupun cukup sulit. Obatnya adalah dimulai dari keluarga tempat asal seseorang tumbuh. Kesadaran literasi yang rendah sebenarnya bisa disembuhkan walaupun cukup sulit. Obatnya adalah dimulai dari keluarga tempat asal seseorang tumbuh. 

Kesadaran keluarga akan literasi harus ditumbuhkan untuk mewujudkan budaya literasi yang sehat. Keluarga adalah kunci utama literasi. Orang tua menjadi subjek sekaligus objek dalam mewujudkan budaya literasi. Anak-anak harus dikenalkan literasi sejak dini. Di tengah gempuran teknologi digital saat ini, menumbuhkan budaya literasi (khususnya membaca) memang sulit. Namun, semua itu bisa diawali dengan budaya literasi secara tradisional sejak dini, yakni diceritakan dan membaca buku (bukan buku digital).

1. Membacakan Cerita

pixabay.com
Anak-anak suka cerita. Namun, anak balita belum bisa membaca. Mereka perlu dibacakan. Bacaan yang menarik tentunya adalah cerita atau dongeng. Membacakan cerita akan memancing daya imajinasi. Anak akan memproses cerita tersebut menjadi imajinasi. Otomatis otak secara perlahan akan bekerja memvisualisasikan cerita tersebut. Kebiasaan ini akan menstimulasi otak dalam menerjemahkan setiap imajinasi. 

Hanya saja, berapa persen orang tua di zaman sekarang yang mau membacakan anaknya cerita. Teknologi instan nan modern sudah ada. Tinggal cari di “penyedia aplikasi”, sebuah program pendongeng / pencerita akan jalan secara otomatis dengan banyak pilihan menu. Bahkan ada juga boneka yang bisa menggantikan peran orang tua dalam bercerita. Bandung Mawardi, seorang esais, dalam tulisannya di Majalah Basis menyatakan bahwa pengasuhan terhadap anak yang paling penting adalah membacakan buku, bukan menyediakan gawai, boneka pencerita, atau yang lainnya. (Sumber baca  DI SINI )

Jadi, resep utama menumbuhkan literasi sejak usia dini adalah dengan cara tradisional, yakni membacakan buku atau cerita. Hal yang penting lagi adalah menjadi orang tua jangan mudah asal kritik bahwa anak-anak sekarang tidak mau membaca, membuat anak jadi mau baca itu susah, atau bahkan membandingkan dengan anak zaman dulu yang gemar membaca. Orang tua harus menjadi teladan dan mau meluangkan waktunya untuk membacakan buku kepada anaknya. 

2. Sediakan Buku, Bukan Gawai

pixabay.com
Menumbuhkan budaya membaca pada anak balita tidak perlu memakai gawai. Jika sudah cukup usianya nanti, bolehlah berliterasi dengan gawai. Membuat anak suka membaca buku adalah dengan menyediakan buku dan memberi contoh, serta membacakannya. 

Saya sendiri punya anak berusia empat tahun.  Terus terang saja, dia sudah mengenal gawai dan cukup cakap dalam mengoperasikannya. Tentu saja semua itu dalam pengawasan dan durasi Screen on Time yang dibatasi. Namun, kadang untuk membatasinya cukup sulit.

Akhirnya saya punya ide jitu. Ide ini muncul karena teringat pengalaman saya waktu kecil. Dulu saya sangat menggandrungi salah satu majalah anak, yakni Majalah Kuncung. Bukannya tidak suka dengan majalah anak yang lain, tetapi memang adanya hanya majalah itu. Dulu, saya belum sama sekali kenal dengan Bobo, Fantasi, dan sejenisnya. Kenalnya hanya Kuncung yang dibawakan oleh ayah saya dari sekolahnya. 

Semula memang hanya iseng baca-baca. Namun, karena merasa mendapat hiburan saat membaca, maka waktu yang saya tunggu-tunggu saat itu adalah saat ayah saya membawakan Majalah Kuncung. Dari sini bisa diambil hikmah, kebiasaan membaca memang bisa ditumbuhkan dengan adanya fasilitas membaca itu sendiri. Saya pun gemar membaca gara-gara ada majalah anak di rumah.

Berbekal pengalaman di atas, saya langsung mencari majalah anak. Saya spontan membeli sebelas majalah anak. Tidak apalah walaupun semua majalah itu adalah majalah bekas. Hal terpenting adalah masih layak baca, bahkan masih terlihat baru. 

Majalah-majalah itu tidak saya berikan secara langsung kepada anak saya. Namun, saya berikan satu per satu. Saya berikan satu majalah dulu supaya dia lihat-lihat gambarnya. Dia pun merespons dengan mengajukan pertanyaan. Secara tidak langsung dia tertarik dengan apa yang dilihatnya. Di saat itulah peran orang tua hadir. Saya pun membacakan cerita bergambar yang ada di majalah itu. Berawal dari situ, jika saya memberikan majalah, sambutan rasa bahagia terpancar darinya. 

pixabay.com
Dari pengalaman saya di atas, rasanya cukup mudah menanamkan budaya literasi di rumah bagi anak sejak usia dini. Ya, rasanya seperti mudah dan murah (hanya modal majalah bekas). Namun, ternyata tantangan terbesarnya adalah kita harus menyediakan waktu untuk si anak. Ya, yang penting adalah ada waktu untuk membacakannya. 

Saya pernah mencoba memberikan majalah baru (kondisinya tetap bekas) baginya dan membiarkannya untuk membuka-buka sendiri tanpa saya dampingi. Apa responsnya? Pertama tampak senang dan asyik membuka-buka. Lalu muncul respons bertanya dan saya pun menyuruhnya untuk membaca sendiri. Akhirnya, satu isyarat tubuh muncul darinya, yakni rasa “bosan” dan segera meninggalkan bukunya.

Peristiwa itu mengindikasikan bahwa orang tua harus selalu hadir mendampingi anak saat membiasakan budaya membaca sampai anak benar-benar bisa mandiri dalam membudayakan literasi baginya. Ingat, tantangan terbesarnya adalah bisa meluangkan waktu bagi anak kita dalam menumbukan budaya literasi. Akan sangat percuma, jika orang tua sanggup membelikan banyak buku atau majalah, tetapi tidak ada waktu untuk membacakan cerita kepada anak yang masih balita dan belum bisa membaca. 

Ya, dua cara di atas adalah cara tradisional tanpa diembel-embeli teknologi digital ala “zaman now”. Namun, saya yakin dua cara di atas adalah langkah terbaik dari kita untuk menumbuhkan kesadaran berliterasi dalam keluarga. Cara itu bisa dilakukan sampai anak-anak bisa membaca secara mandiri. Sesudah itu biarkan mereka menemukan caranya sendiri dalam berliterasi, entah itu menggunakan buku cetak atau buku digital.

Budaya Literasi Itu Tumbuh dari Rumah


Ibarat sebuah tanaman, budaya literasi akan tumbuh dari pembiasaan di rumah. Tanaman akan tumbuh subur jika ditanam di media dan lingkungan yang baik, mulai dari kecocokan tanah, air, pupuk, suhu, cuaca, iklim, dan lain-lain. Begitu pula literasi, budaya di rumah yang menunjang literasi harus dihidupkan.

Banyak orang tua yang hanya mengandalkan sekolah untuk mengembangkan literasi anak. Dalam masyarakat Jawa ada ungkapan “pasrah bongkokan” saat menyekolahkan anak. “Pasrah bongkokan” diartikan sebagai pasrah semuanya. Artinya, orang tua menyerahkan segala bentuk pendidikan anaknya kepada sekolah. Dalam hal ini ada baiknya juga jika dengan “pasrah bongkokan” orang tua berarti menyetujui segala sistem pendidikan di sekolah itu tanpa mengabaikan pendidikan di keluarga. Hanya saja yang menjadi masalah adalah jika “pasrah bongkokan” diartikan sebagai segala bentuk pendidikan diserahkan ke sekolah saja. Itu bahaya.

Literasi di sekolah hanya sebatas pengembangan karakter berliterasi yang sudah dibentuk di rumah. Walaupun memiliki segudang fasilitas dalam literasi, sebuah sekolah akan kesulitan mengembangkan budaya literasi bagi anak yang tidak memiliki minat literasi. Ditambah lagi jika anak tersebut sama sekali tidak mengenal pembiasaan literasi di rumah, seperti yang sudah saya ulas di bagian awal dalam tulisan ini.

Ibaratnya tanaman, seorang anak yang sudah dibiasakan literasi di rumah adalah benih unggul. Jika benih unggul tersebut mendapat tempat yang tepat, benih itu akan tumbuh subur dan menghasilkan panenan yang berkualitas. Begitu pula jika ada anak yang sudah biasa dibiasakan literasi di rumah, kemudian anak tersebut mengenyam pendidikan di sekolah yang sangat mendukung literasi, maka anak tersebut bisa mengembangkan dirinya secara maksimal dan menjadi Sumber Daya Manusia yang unggul. 

Gerakan Satu Minggu Satu Buku


Pada tahun 2011, saya pernah membuat tulisan berisi opini pendek di blog ini dengan judul “Gerakan Satu Minggu Satu Buku” (Baca DI SINI). Tulisan pendek yang hanya terdiri atas dua paragraf itu mempunyai tujuan untuk menggerakkan pembaca blog agar bisa menyempatkan membaca satu buku dalam satu minggu. Hal ini terinspirasi dari beberapa gerakan seperti “Satu Hari 1 Ayat” yang bertujuan untuk bisa menghafalkan satu ayat dalam satu satu bagi orang yang beragama Islam. Ada juga gerakan “Satu Hari 1 Juz” yang bertujuan untuk bisa membaca Alquran sebanyak satu juz dalam waktu sehari.

Berdasarkan penelusuran jejak digital,  kini ada gerakan yang dinamakan One Week One Book (Sumber baca DI SINI). Gerakan ini pun sudah ada komunitasnya. Setiap anggota harus membaca minimal satu buku dalam satu minggu. Ulasan tentang buku yang sudah dibaca dan isinya juga diharuskan diposting di media sosial sebagai bentuk pertanggungjawaban. Adanya komunitas dan gerakan ini tentunya juga bisa mendorong geliat literasi di masyarakat. Apalagi sekarang, berita hoaks mengancam di segala lini media sosial. Dengan cara banyak membaca, tentunya kita semakin kritis dalam memfilter informasi yang kita terima. 

Pada tahun 2017, ada pula gerakan kampanye “Gerakan Baca 1 Minggu 1 Buku” yang dilaksanakan di acara Car Free Day di Bandung (Sumber baca DI SINI). Gerakan ini juga bertujuan untuk menumbuhkan minat baca di masyarakat. Pasalnya, minat baca buku masyarakat Indonesia secara umum masih sangat rendah. Dengan adanya gerakan kampanye ini, bisa menjadi pengingat sekaligus ajakan untuk rajin baca buku sehingga bisa menumbuhkan generasi yang terbiasa bersahabat dengan buku.

Gerakan satu minggu satu buku bisa ditanamkan sejak dini di rumah sebagai bentuk praktik pembiasaan literasi yang baik. Hal terpenting dalam melaksanakan gerakan ini adalah tidak adanya alasan memaksa. Jika anak merasa terpaksa, justru gerakan ini bisa menjadi boomerang bagi minat literasinya. Gerakan ini bisa dimulai dengan buku-buku yang tipis terlebih dahulu. Setelah mampu menyelesaikan satu buku dalam satu minggu, berikan apresiasi dan pujian untuk anak-anak sehingga mereka dihargai dan bersemangat lagi membaca buku selanjutnya. Selamat berliterasi.

#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga


Andi Dwi Handoko
Andi Dwi Handoko Pendidik di SMP Negeri 2 Jumantono. Pernah mengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta dan menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar di Solo. Suka mengolah kata-kata di DapurImajinasi dan kadang juga di media massa. Pernah juga mencicipi sebagai pelatih Teater Anak dan Pimred Majalah Sekolah. Suka juga bermusik. Hubungi surel adhandoko88@gmail.com, Instagram adhandoko88, atau facebook.com/andi.d.handoko

1 komentar untuk "Literasi Keluarga Cara Tradisional di Era Digital"