Cerpen
KIRANA
(adh)
Saat pagi berjelajah dengan sejuk embunnya. Ku mulai membuka sayup mataku setelah lelah bergelanyut dengan mimpi semalam. Sandaran tubuhku masih merelakan dirinya untuk menemaniku. Menemani rasa malas untuk beranjak darinya. Selimut berwarna biru tua masih melekat menutupi sejengkal tubuhku yang kedinginan. Dingin pagi ini benar-benar merajam kulitku hingga menusuk ke dalam sendi-sendi tulang. Aku memutar pandangku menjelajah suasana sekitarku. Mataku tertuju pada sebuah jendela tanpa tirai yang kacanya terlapis embun. Menetes membentuk sebuah alur yang estetis. Aku menggeliat melemaskan rajutan ototku yang telah beristirahat kaku semalaman. Kini mulai ku rasakan setitik kesegaran dalam tubuhku.
Waktu menunjukkkan pukul 05.30. Rasanya malas sekali untuk bangun sepagi ini di hari minggu. Aku hanya melewatkan waktu dengan berhayal sampai rasa malasku hilang dan beranjak dari tempat tidur. Walau sebenarnya rasa kantuk sudah menghilang dari sudut pelupuk mataku.
Semburat cahaya mentari mulai masuk ke dalam kamar melewati jendela. Mencoba memberikan hangatnya untuk mulai menenun kisah hari ini. Kilau dan hangatnya mengusir embun yang menuang butiran rasa dingin. Mataku tersilaukan olehnya. Benar-benar pagi yang cerah. Burung-burung terdengar menyanyikan lewat alunan merdunya. Membentuk suatu suasana yang indah dan serasi. Tiba-tiba terdengar lagu “Risalah Hati” milik Dewa 19 yang merupakan nada panggil untuk handphoneku. Tanpa menunggu lama aku mengambilnya. Terlihat sebuah nama di layar. “Kirana”.
“Hallo Jelek! Udah bangun? Biasanya jam sepuluh kamu baru bangun! Sikat gigi sana, bau mulutmu sampai ke sini tau.” Terdengar suara Kirana mengawali percakapan dari handphone.
“Uuuhhh kamu yang jelek, pagi-pagi gini udah telepon, emangnya ada apa Jelek?
“Begini, kamu hari ini ada acara nggak?”
“Ya tentu saja ada acara, malah banyak sekali acara hari ini, pokoknya sibuk banget, ya biasalah hari minggu gini jatahnya buat bersibuk ria dengan tidur”
“Ooo dasar kamu Jelek! Kerjaannya molor melulu”
“Kan dalam masa pertumbuhan, he…he….he…! iya aku nggak ada acara hari ini.”
“ Bisa nggak nemenin aku ke pantai hari ini. Ya agak sorean aja biar kita bisa menikmati sunset”
“ Ya dech demi kamu jelek! Sekitar jam tiga aku jemput di rumahmu!”
“Key, makasih ya jelek…! Hwee…..! daaaah….ampe ketemu ntar sore.”
Kirana mentutup teleponnya. Memang dia manja sekali denganku. Kita sering saling ejek. Aku dan dia sering memanggil dengan sebutan “Jelek”. Kita sudah sangat dekat sekali ibarat seorang kakak dan adik. Ya, memang aku tak menganggapnya sebagai teman kuliah atau teman dekat lagi, namun aku menganggapnya sebagai adikku sendiri. Canda cerianya selalu mewarnai hari-hariku jika aku sedang bersamanya. Dia orangnya terkadang jutek namun penuh perhatian terhadapku.
Minggu siang terasa sangat panas. Serasa hendak memecahkan kepala. Ibu menyuruhku mengantarkannya untuk arisan di rumah temannya. Sebenarnya ayah yang akan mengantarkannya, namun beliau ada keperluan dengan rekan bisnisnya. Sudah sekitar jam dua lebih aku mengantarkan ibuku. Agak terburu-buru aku mengendarai Vespaku. Akhirnya sampai juga di tujuan. Aku langsung menuju rumah Kirana. Aku membawa Vespaku lebih cepat. Aku takut jika terlambat. Pasti Kirana akan marah dan ngomel tak karuan jika aku terlambat. Dengan kecepatan yang tinggi vespaku meluncur di atas aspal yang ramai dengan kendaraan.
Tepat jam tiga aku sudah berada di rumahnya. Aku sudah sering ke rumahnya. Keluarganya juga ramah terhadapku. Mereka senang jika aku bermain ke rumah Kirana. Aku sudah dianggap keluarganya sendiri. Maka tak heran jika aku di sana terkesan agak bebas. Walaupun begitu aku masih tahu batas, etika dan norma yang berlaku.
Hal yang tak kusadari ialah tak seperti biasanya Kirana mengajakku keluar. Baru kali ini ia mengajakku keluar. Sebaliknya justru aku yang sering mengajaknya keluar. Entah itu kepantai, bioskop atau sekedar berkeliling kota. Aku sering curhat dengan dia tentang masalah-masalah yang aku hadapi. Entah itu tentang sekolah, keluarga dan masalah pribadi sekalipun. Kirana jarang sekali terbuka denganku. Ia seperti memendam suatu masalah yang ada pada dirinya. Aku sering bertanya padanya, namun candanya selalu ia gunakan menjadi senjata untuk membendung pertanyaanku itu. Aku tak berpikir macam-macam padanya karena pada dasarnya aku mempunyai sifat yang cuek.
Aku menunggu Kirana di ruang tamu sambil menonton televisi. Jeda beberapa detik aku menunggu, Kirana sudah muncul di tangga dari lantai dua rumahnya. Kulihat Kirana sudah rapi. Ia terlihat anggun dan cantik. Di balik keanggunan dan kecantikannya, aku sering melihat kelopak matanya pucat. Namun semua itu bisa tertutupi oleh wajahnya yang selalu ceria. Pernah aku menanyakan tentang hal tersebut. Dia hanya menjawab, “mungkin kurang tidur saja”. Aku pun tak menghiraukan masalah tersebut. Setelah berpamitan dengan orang tuanya, kami pun berangkat.
Satu jam perjalanan, kita sudah sampai di pantai dengan Vespa biru kesayanganku. Entah kenapa aku sangat sayang dengan Vespaku ini. Ayahku sudah berulang kali ingin menawariku sepeda baru yang lagi modif sekarang ini. Namun aku masih setia dengan Vespa biruku ini untuk selalu mengantarkanku kemana saja aku pergi.
Langit tampak biru dengan lukisan awan yang semakin memperindah singgasana langit. Burung camar berkejaran di atas derai ombak samudera. Aku dan Kirana duduk di bawah nyiur yang melambai-lambaikan daunnya karena terhempas sang bayu. Berdua duduk berdekatan menikmati indahnya pantai di selingi cerita yang terlantun dari benak kita.
Panjang lebar kita bercerita. Mencoba menandingi riuh suara ombak dengan lautan cerita. Hingga tiba saatnya Kirana berbicara dengan lembut di bibirnya.
“ Aku mencintaimu” Sambil bibir tipisnya merayap dengan cepat di bibirku.
Aku kaget dan posisi dudukku agak bergeser darinya. Aku kaget mendengarnya. Aku mencoba berkata, namun dengan sigap jari telunjuknya menutup mulutku.
“ Aku mencintaimu. Aku tahu di hatimua ada cewek lain. Tapi memang beginilah rasaku kepadamu. Aku yakin kau hanya menganggapku sebagi teman atau adikmu semata. Aku hanya ingin berterus terang padamu, karena aku takut kehabisan masa hidupku. Aku menderita kanker darah. Dokter sudah memvonis hidupku tinggal satu bulan lagi. Aku takut rasa ini hanya terpendam dalam hati sampai akhir napasku nanti. Kau “Jelek”! Aku sayang padamu”. Air mata Kirana meleleh membasahi pipinya.
Bagai tersambar petir di siang hari aku mendengarnya.
“Kirana” Aku memanggilnya dengan rasa belum percaya. Satu tahun sejak aku mengenalnya, ia dengan rapat menyembunyikan rahasia tentang penyakitnya. Keluarganya pun tidak pernah memberitahuku. Aku tak dapat berkata apa-apa. Apalagi ternyata dia mencintaiku. Suatu hal yang tak pernah terbayangkan dalam benakku.
Tiba-tiba angin berhembus kencang. Menggoyang nyiur di sekitar pantai itu dengan kerasnya. Suatu hal yang tak terduga terjadi. Sebuah kelapa dengan ukuran lumayan besar jatuh dan mengenai tepat kepala Kirana. Darah pun mengucur dengan cepat. Aku segera menangkap tubuhnya dalam pelukanku. Kirana menghembuskan napas terakhirnya. Jerit tangis membahana dari sudut jiwaku.
Ternyata Tuhan berkehendak lain. Kirana dijemput-Nya lebih awal dan dengan mengenaskan tepat di depan mata dan pelukanku sendiri. Dan inilah hari terakhirku bersama Kirana di dunia ini. Tak ada lagi kini, tawa cerianya dan ucapan lembut yang memanggilku “Jelek”.
Sent your coments to :adh_saraz@yahoo.co.id
NYANYIAN PANTAI
(adh)
Suara ombak riuh menerpa tegarnya karang. Menyapu lembut landai bibir pantai. Burung camar menari bersama hembusan angin. Terasa kencang sehingga sesekali sekawanan camar itu harus melemahkan sayap mengikuti arah angin. Hinggap di balik rimbun dedaunan dan menengadah ke langit biru. Sementara sekawanan lainnya masih riuh menelanjangi keindahan alam pantai.
Panas sang surya terasa menyengat tubuh, meskipun ia sudah mulai condong ke ufuk barat. Panasnya meresap di antara sendi kulit seolah hendak menggosongkannya. Sepasang insan menatap jauh mengitari samudera di hadapannya. Sesaat pandangan merreka turun menyusuri ombak berkejaran. Mereka duduk berdekatan di atas hitam karang yang kokoh di bibir pantai. Kepala masing-masing saling condong dengan arah berlawanan sehingga berdekatan dan saling menempel.
Angin mengiringi nyanyian itu. Hembusannya menjadfi musik pengiring alami. Bibir Alisa menari membentuk alunan lagu. Bait demi bait terlantunkan. Angin sesekali menyibak helaian rambutnya, namun ia tetap melantunkan iramanya. Tak terganggu tarian helai rambut di depan matanya. Suaranya begitu merdu. Syahdu meniti alam merindu.
Sementara Ale yang berada di sebelahnya terlihat menikmati alunan lagu tersebut. Alunan lagu dari Alisa terasa menyejukkan relung-relung jiwanya. Ale menyatukan perasaannya dengan keindahan suasana pantai dan alunan lagu Alisa. Mereka tak menghiraukan segelintir orang yang turut menikmati keindahan pantai. Suara anak tertawa riang bermain ombak terkadang menyela lagu yang masuk ke telinga Ale. Semua tak dapat mengusik bagaimana Ale menikmati syahdu alunan lagu Alisa.
Nyanyian itu berhenti. Kedua mata saling menatap. Berangsur-angsur tatapan itu menjauh. Kemudian memandang jauh ke lepas pantai. Lagu itu seperti hilang tertiup angin kemudian terukir di putih arakan awan. Atau mungkin juga alunan lagu tersebut hilang menelusup jauh di jiwa Ale.
Dalam hati Ale, ia memuji keindahan suara Alisa. Kebiasaan Ale hanya memuji seseorang dengan mulut terkunci. Ia tak suka memuji orang lain dengan terang-terangan. Entah itu sahabat terdekatnya sekalipun. Bisa di katakan sombong mungkin. Mereka terpaku satu sama lain. kebosanan menggelanyuti mereka. Bukan kebosanan menikmati lepas pantai tersebut, namun kebosanan yang menggiring hati mereka untuk lebih jauh menikmati pantai sekitar.
Keduanya beranjak berdiri. Mengikis langkah-langklah meninggalkan karang. Lembut pasir menggelitik kaki-kakinya. Bersama nyanyikan cerita-cerita lalu menghiasi langkahnya. Segenap rasa riang bersatu di perasaan mereka. Teringat akan kehidupan di sekolah lanjutan pertama. Di masa itu mulai perkenalan itu. Perkenalan yang memulai kisah-kisah kocak masa remaja. Canda tawa, saling ejek, bahkan saling bekerja sama untuk mencontek sewaktu ulangan. Memori otaknya masih mereka semuanya.
Bibir Alisa masih melantunkan kisah-kisah masa lalu. Kemudian di susul cerita Ale. Tawa terpecah di antaranya bersama riuh deburan ombak. Berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih dalam rajutan benang asmara. Sebenarnya mereka hanyalah sahabat dekat, namun mereka tak pernah bercakap-cakap mengenai isi hati. Mereka hanya bercerita tentang kehidupan sosialnya. Tak pernah muncul di antara cerita mereka tentang kisah cinta. Tak tahu satu sama lain siapa yang di cintai atau bahkan kekasih masing-masing. Suatu persahabatan yang terasa aneh.
Letih merajam kaki mereka. Sengatan mentari semakin meredup. Ale mengajak Alisa duduk di bawah rimbun pohon di tepi pantai. Mata Ale menatap tajam paras Alisa. "Cantik juga", gumamnya dalam hati. Mata Alisa menangkap tatapan itu. Tatapan Ale secepat kilat berlari dari binar mata yang menangkapnya. Senyum Alisa tersipu-sipu.
Rasa itu berdesir dalam dada Ale. Namun kata hatinya menangkap berlawanan. Hatinya masih terpatri dengan seorang bernama Ita. Kenyataan tak membuat pikiran Ale mengolahnya menjadi benar-benar nyata. Ita tak tahu rasa dalam hati Ale. Ale sendiri hanya merasakannya. Tak ada sebuah pengungkapan dan kepastian. Tak ada kisah kasih di antaranya. Hanya ada rasa satu arah dari hati Ale. Atau mungkin Ita merasakan hal yang sama dirasakan Ale. Semua tak bisa terjawab hanya dengan diam. Tanpa pengungkapan. Diam dan membisu dalam rasa yang sekian waktu terus merong-rong hati Ale. Dan menyisakan sebuah misteri.
Ale seakan tak sadar bahwa hubungannya dengan Alisa begitu dekat ibarat sepasang kekasih. Teman-teman Ale maupun Alisa sering kali berkeyakinan mereka telah menjadi sepasang kekasih. Semua itu hanya suara angin. Isu semata. Ale tak menyadari bahwa kisah kasihnya dengan Alisa begitu nyata. Ke mana-mana selalu bersama. Entah itu acara ulang tahun, perayaan tahun baru atau liburan selalu terlihat bersama-sama. Rasa tak mengikatnya atau memang belum tiba waktunya.
Angan Ale melayang menembus alam pikirnya. Ia berpikir jika Alisa menjadi kekasihnya. Muncul di tengah angan itu tentang sifat-sifat Alisa yang mungkin banyak bertentangan dengannya. Namun Ale sekiranya justru menyukai sifat-sifat yang bertentangan dengannya itu. Tiba-tiba pikirannya membentuk sebuah pertanyaan bagaimana asanya untuk melangkah meniti rasa hati bersama dengan Ita. Serasa semua masalah itu menumpuk menjejal seluruh alam pikirnya. Seakan hendak meledakkan otaknya.
"Le, Ale…..?Ale…?". suara Alisa begitu lembut untuk memecah lamunan Ale. Alisa melambai-lambaikan tangan kanannya di depan mata Ale. Ale pun tersigap. Ia menjauhkan lamunannya dan merespon suara Alisa. Alisa mengajaknya untuk pulang karena hari mulai beranjak petang. Ale beranjak dari duduknya. Tangan Ale menjulur ke arah Alisa yang merengek manja untuk membantunya berdiri. Rengekan manja, canda tawa serta senyum Alisa sering kali menggetarkan jantung Ale, walau bayangan Ita masih tetap menggelanyuti lubuk hatinya. Mereka berjalan berdampingan dengan tangan Ale masih mencengkerama tangan Alisa. Terasa romantis dengan warna senja yang mulai memarun. Tapi mereka bukan sepasang kekasih.
Langkah kaki mereka menjauh dari pantai. Mereka sudah mendapati motor Ale. Motor bebek biru yang selalu menemani Ale ke mana saja ia pergi. Alisa membonceng di belakang Ale. Tidak tampak sepasang kekasih. Alisa tak pernah mempererat boncengannya dengan Ale. Ia selalu menjaga jarak. Berbeda sekali dengan cewek-cewek lainnya. Walaupun bukan suami istri atau bahkan bukan kekasih, namun mereka berboncengan dengan pelukan yang erat.
Jalanan begitu sepi. Hanya satu atau dua kendaraan terkadang berpas-pasan dengan motor Ale. Ale mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Laju motor menjauh dari pantai. Namun semakin jauh, langit semakin hitam karena mendung. Rintik hujan pun turun. Langit semakin gelap oleh senja yang segera menjemput malam. Ale dan Alisa tetap meneruskan perjalanan walau dengan basah kuyup. Mereka bisa saja menunggu hujan reda, namun hari semakin gelap.
Ale tetap tenang mengendarai motor di jalanan yang licin. Sesekali ia menggigil karena kedinginan. Hempasan angin tak jarang membuat tubuh yang tak memakai jaket itu semakin menggigil. Sementara Alisa justru melepas jaket hitamnya. Kemudian mengenakan jaketnya di tubuh Ale. Tepatnya di dada Ale, jaket itu menempel di dada Ale dengan bantuan angin yang menghempas dari depan. Ale merasa hangat dengan jaket itu. Namun ale merasa perlakuan Alisa terhadapnya lebih hangat dari pada jaket itu. Hati Ale merasa nyaman, begitu besar perhatian Alisa terhadap Ale.
Ale mengantar Alisa sampai depan rumahnya. Ia tidak mampir dan langsung pamit untuk pulang. Saat ia berpamitan dan menjalankan motornya, Ale menatap Alisa yang melambaikan tangan disertai senyum manisnya. Ale membalas senyum itu dan berangsur-angsur menghilang di ujung jalan.
Tiga hari kemudian, Ale merasa bingung. Kemana rasa di hatinya berjalan. Alisa? Ita?. Dua insan yang memeluk hatinya. Hatinya terpagut akan rasa cinta pada Ita. Di sisi lain hatinya juga terpagut Alisa. Alisa selalu menghadirkan kisah-kisah yang berkesan dalam hatinya. Alisa sering berada di sisinya. Banyak waktu yang dihabiskan bersama Alisa. Sedangkan bersama Ita, ia hanya terbang bersama angan. Hanya rasa tanpa kepastian dan kenyataan.
Malam semakin larut. Ale meraih selimut dan memejamkan mata menembus alam mimpi.
Suara ombak riuh menerpa tegarnya karang. Menyapu lembut landai bibir pantai. Burung camar menari bersama hembusan angin. Terasa kencang sehingga sesekali sekawanan camar itu harus melemahkan sayap mengikuti arah angin. Hinggap di balik rimbun dedaunan dan menengadah ke langit biru. Sementara sekawanan lainnya masih riuh menelanjangi keindahan alam pantai.
Panas sang surya terasa menyengat tubuh, meskipun ia sudah mulai condong ke ufuk barat. Panasnya meresap di antara sendi kulit seolah hendak menggosongkannya. Sepasang insan menatap jauh mengitari samudera di hadapannya. Sesaat pandangan merreka turun menyusuri ombak berkejaran. Mereka duduk berdekatan di atas hitam karang yang kokoh di bibir pantai. Kepala masing-masing saling condong dengan arah berlawanan sehingga berdekatan dan saling menempel.
Angin mengiringi nyanyian itu. Hembusannya menjadfi musik pengiring alami. Bibir Alisa menari membentuk alunan lagu. Bait demi bait terlantunkan. Angin sesekali menyibak helaian rambutnya, namun ia tetap melantunkan iramanya. Tak terganggu tarian helai rambut di depan matanya. Suaranya begitu merdu. Syahdu meniti alam merindu.
Sementara Ale yang berada di sebelahnya terlihat menikmati alunan lagu tersebut. Alunan lagu dari Alisa terasa menyejukkan relung-relung jiwanya. Ale menyatukan perasaannya dengan keindahan suasana pantai dan alunan lagu Alisa. Mereka tak menghiraukan segelintir orang yang turut menikmati keindahan pantai. Suara anak tertawa riang bermain ombak terkadang menyela lagu yang masuk ke telinga Ale. Semua tak dapat mengusik bagaimana Ale menikmati syahdu alunan lagu Alisa.
Nyanyian itu berhenti. Kedua mata saling menatap. Berangsur-angsur tatapan itu menjauh. Kemudian memandang jauh ke lepas pantai. Lagu itu seperti hilang tertiup angin kemudian terukir di putih arakan awan. Atau mungkin juga alunan lagu tersebut hilang menelusup jauh di jiwa Ale.
Dalam hati Ale, ia memuji keindahan suara Alisa. Kebiasaan Ale hanya memuji seseorang dengan mulut terkunci. Ia tak suka memuji orang lain dengan terang-terangan. Entah itu sahabat terdekatnya sekalipun. Bisa di katakan sombong mungkin. Mereka terpaku satu sama lain. kebosanan menggelanyuti mereka. Bukan kebosanan menikmati lepas pantai tersebut, namun kebosanan yang menggiring hati mereka untuk lebih jauh menikmati pantai sekitar.
Keduanya beranjak berdiri. Mengikis langkah-langklah meninggalkan karang. Lembut pasir menggelitik kaki-kakinya. Bersama nyanyikan cerita-cerita lalu menghiasi langkahnya. Segenap rasa riang bersatu di perasaan mereka. Teringat akan kehidupan di sekolah lanjutan pertama. Di masa itu mulai perkenalan itu. Perkenalan yang memulai kisah-kisah kocak masa remaja. Canda tawa, saling ejek, bahkan saling bekerja sama untuk mencontek sewaktu ulangan. Memori otaknya masih mereka semuanya.
Bibir Alisa masih melantunkan kisah-kisah masa lalu. Kemudian di susul cerita Ale. Tawa terpecah di antaranya bersama riuh deburan ombak. Berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih dalam rajutan benang asmara. Sebenarnya mereka hanyalah sahabat dekat, namun mereka tak pernah bercakap-cakap mengenai isi hati. Mereka hanya bercerita tentang kehidupan sosialnya. Tak pernah muncul di antara cerita mereka tentang kisah cinta. Tak tahu satu sama lain siapa yang di cintai atau bahkan kekasih masing-masing. Suatu persahabatan yang terasa aneh.
Letih merajam kaki mereka. Sengatan mentari semakin meredup. Ale mengajak Alisa duduk di bawah rimbun pohon di tepi pantai. Mata Ale menatap tajam paras Alisa. "Cantik juga", gumamnya dalam hati. Mata Alisa menangkap tatapan itu. Tatapan Ale secepat kilat berlari dari binar mata yang menangkapnya. Senyum Alisa tersipu-sipu.
Rasa itu berdesir dalam dada Ale. Namun kata hatinya menangkap berlawanan. Hatinya masih terpatri dengan seorang bernama Ita. Kenyataan tak membuat pikiran Ale mengolahnya menjadi benar-benar nyata. Ita tak tahu rasa dalam hati Ale. Ale sendiri hanya merasakannya. Tak ada sebuah pengungkapan dan kepastian. Tak ada kisah kasih di antaranya. Hanya ada rasa satu arah dari hati Ale. Atau mungkin Ita merasakan hal yang sama dirasakan Ale. Semua tak bisa terjawab hanya dengan diam. Tanpa pengungkapan. Diam dan membisu dalam rasa yang sekian waktu terus merong-rong hati Ale. Dan menyisakan sebuah misteri.
Ale seakan tak sadar bahwa hubungannya dengan Alisa begitu dekat ibarat sepasang kekasih. Teman-teman Ale maupun Alisa sering kali berkeyakinan mereka telah menjadi sepasang kekasih. Semua itu hanya suara angin. Isu semata. Ale tak menyadari bahwa kisah kasihnya dengan Alisa begitu nyata. Ke mana-mana selalu bersama. Entah itu acara ulang tahun, perayaan tahun baru atau liburan selalu terlihat bersama-sama. Rasa tak mengikatnya atau memang belum tiba waktunya.
Angan Ale melayang menembus alam pikirnya. Ia berpikir jika Alisa menjadi kekasihnya. Muncul di tengah angan itu tentang sifat-sifat Alisa yang mungkin banyak bertentangan dengannya. Namun Ale sekiranya justru menyukai sifat-sifat yang bertentangan dengannya itu. Tiba-tiba pikirannya membentuk sebuah pertanyaan bagaimana asanya untuk melangkah meniti rasa hati bersama dengan Ita. Serasa semua masalah itu menumpuk menjejal seluruh alam pikirnya. Seakan hendak meledakkan otaknya.
"Le, Ale…..?Ale…?". suara Alisa begitu lembut untuk memecah lamunan Ale. Alisa melambai-lambaikan tangan kanannya di depan mata Ale. Ale pun tersigap. Ia menjauhkan lamunannya dan merespon suara Alisa. Alisa mengajaknya untuk pulang karena hari mulai beranjak petang. Ale beranjak dari duduknya. Tangan Ale menjulur ke arah Alisa yang merengek manja untuk membantunya berdiri. Rengekan manja, canda tawa serta senyum Alisa sering kali menggetarkan jantung Ale, walau bayangan Ita masih tetap menggelanyuti lubuk hatinya. Mereka berjalan berdampingan dengan tangan Ale masih mencengkerama tangan Alisa. Terasa romantis dengan warna senja yang mulai memarun. Tapi mereka bukan sepasang kekasih.
Langkah kaki mereka menjauh dari pantai. Mereka sudah mendapati motor Ale. Motor bebek biru yang selalu menemani Ale ke mana saja ia pergi. Alisa membonceng di belakang Ale. Tidak tampak sepasang kekasih. Alisa tak pernah mempererat boncengannya dengan Ale. Ia selalu menjaga jarak. Berbeda sekali dengan cewek-cewek lainnya. Walaupun bukan suami istri atau bahkan bukan kekasih, namun mereka berboncengan dengan pelukan yang erat.
Jalanan begitu sepi. Hanya satu atau dua kendaraan terkadang berpas-pasan dengan motor Ale. Ale mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Laju motor menjauh dari pantai. Namun semakin jauh, langit semakin hitam karena mendung. Rintik hujan pun turun. Langit semakin gelap oleh senja yang segera menjemput malam. Ale dan Alisa tetap meneruskan perjalanan walau dengan basah kuyup. Mereka bisa saja menunggu hujan reda, namun hari semakin gelap.
Ale tetap tenang mengendarai motor di jalanan yang licin. Sesekali ia menggigil karena kedinginan. Hempasan angin tak jarang membuat tubuh yang tak memakai jaket itu semakin menggigil. Sementara Alisa justru melepas jaket hitamnya. Kemudian mengenakan jaketnya di tubuh Ale. Tepatnya di dada Ale, jaket itu menempel di dada Ale dengan bantuan angin yang menghempas dari depan. Ale merasa hangat dengan jaket itu. Namun ale merasa perlakuan Alisa terhadapnya lebih hangat dari pada jaket itu. Hati Ale merasa nyaman, begitu besar perhatian Alisa terhadap Ale.
Ale mengantar Alisa sampai depan rumahnya. Ia tidak mampir dan langsung pamit untuk pulang. Saat ia berpamitan dan menjalankan motornya, Ale menatap Alisa yang melambaikan tangan disertai senyum manisnya. Ale membalas senyum itu dan berangsur-angsur menghilang di ujung jalan.
Tiga hari kemudian, Ale merasa bingung. Kemana rasa di hatinya berjalan. Alisa? Ita?. Dua insan yang memeluk hatinya. Hatinya terpagut akan rasa cinta pada Ita. Di sisi lain hatinya juga terpagut Alisa. Alisa selalu menghadirkan kisah-kisah yang berkesan dalam hatinya. Alisa sering berada di sisinya. Banyak waktu yang dihabiskan bersama Alisa. Sedangkan bersama Ita, ia hanya terbang bersama angan. Hanya rasa tanpa kepastian dan kenyataan.
Malam semakin larut. Ale meraih selimut dan memejamkan mata menembus alam mimpi.
Posting Komentar untuk "Cerpen"