Cerpen Kali Ini
LENGGANG KEHIDUPAN
Oleh : Adh
Oleh : Adh
Tiga pemuda terlihat beristirahat di sebuah emperan toko. Memanfaatkan waktu untuk mengeringkan peluh yang membasahi tubuh. Udara cukup panas. Matahari sudah berada tepat di atas kepala. Siang telah melewatkan setengah rutinitas matahari. Raung kendaraan silih brganti mengisi telinga mereka. Di depan emperan took yang tutup itu, salah satu dari mereka menyalakan rokok. Sesaat kemudian dihisapnya dalam-dalam. Terlihat pada raut wajahnya ia menikmati rokoknya. Temannya yang berada tepat di samping kanannya turut mengeluarkan bungkus rokok dari saku celana panjangnya. Entah celana panjang atau celana setengah panjang, karena hanya beberapa centi saja di bawah lutut. Ia mengambil sebatang rokok. Ia meminjam rokok temannya tadi yang sudah dihisap untuk menyalakan rokok yang baru saja ia keluarkan. Satu semburan asap keluar mengepul dari mulutnya.
“ Ton!, Mau rokok nggak? ini aku masih ada!” pemuda yang baru sajamenyulut rokok menawarkan rokoknya kepada Anton. Ia bernama Rudi. Seketika pemuda yang lebih dulu menikmati rokok menyahut.
“ Mana mungkin dia mau merokok, lha dia sudah berjanji dihadapan orang tuanya untuk tidak menikmati yang namanya rokok.”
Anton sejurus menatap Tono yang baru saja berbicara. Anton hanya mengembangkan senyum persahabatannya. Anton selalu ingat janji itu. apalagi di saat ada orang yang menawarinya untuk merokok. Bagi kehidupannya, janji itu seperti adegan slow motion yang di ulang-ulang dalam sebuah film. Bahkan sekarang ia sudah menganggap janji itu sebagai prinsip hidup yang harus selalu ia pegang.
“ Ingkari saja janjimu itu. Sekarang jamannya sudah biasa ingkar janji. Presiden saja suka ingkar janji, kok kita sebagai rakyatnya tidak mau bahkan tidak boleh ingkar janji?” Ungkap Rudi.
Anton hanya diam dengan pernyataanitu. Ia hanya menikmati waktu istirahatnya dengan memainkan gitar yang berada di pangkuannya. Ia memainkan lagu yang sedang popular di bulan ini. Mereka terlihat sangat lelah. Rasa kantuk menghinggapi mereka. Rudi mengusulkan untuk pulang karena rasa kantuknya sudah tak dapat ditahan lagi. Semua menyetujuinya. Terlihat langkah kaki mereka meninggalakn emperan toko.
Malam telah mengganti senja. Bintang-bintang menyala terang menghiasi singgasana langit. Suara serangga malam saling bersahutan melawan kebisingan kendaraan kota yang semakin malam semakin berkurang.
Mereka tampak sibuk dengan bukunya masing-masing dalam sebuah ruang. Mereka harus menyiapkan otak dan mental mereka untuk menghadapi ujia yang akan diadakan dosennya. Dosen yang terkenal killer di antara dosen-dosen lainnya. Kebiaasannya memberi nilai seadanya bahkan terkenal sangat pelit. Bukan pelit, namun dosenitu terlalu objektif terhadap mahasiswanya tanpa melihat aspek-aspek yang lain seperti kerajinan, kelakuan dan lainnya.
Pagi begitu cerah. Langit biru terang terpendar cahaya mentari. Anton, Tono dan Rudi sudah siap berangkat kuliah dengan dandanan yang lumayan klimais. Pagi itu mereka berangkat lebih pagi dari biasanya karena jam pertama ada ujian oleh dosen killer yang pernah mereka jumpai. Sampai soal ujian dibagikan dan disuruh mengerjakan. Terlihat ruang kuliah ynag padat mahasisiwa itu sangat sepi. Meski ada suara, paling-paling hanya suara pulpen jatuh atau decitan kursi bergeser.
Tepat tengah hari kegiatan kuliah selesai. Jam pertama sampai jam kedua adalah ujian. Jam selanjutnya mereka hanya duduk tenang menyimak kuliah dari dosen lain sampai kuliah selesai. Anton mengajak Tono dan Rudi untuk makan di kantin. Mereka menyetujuinya. Dengan segera mereka menuju ke kantin. Kantin termurah di kampusnya dengan plakat “Kantin Sederhana”. Nama kantin itu cocok sekali dengan harga makanan yang dijual di kantin tersebut.
” Bagaiman nanti sore? Kita mau ngamen tidak?” Rudi bertanya pada Anton dan Tono.
“ Tentu dong!” Jawab mereka serentak.
Inilah kehidupan mereka. Mahasiswa dengan sederet kegiatan. Mereka menyukai kebebasan dan seni adalah bagiannya.Waktu luang adalah momok bagi mereka. Pemikiran dasarnya adalah tidak menyia-nyiakan waktu yang ada. Sekecil apapun waktu luang, harus mereka isi dengan hal yang berguna. Walau demikian, mereka tetap memerlukan waktu istirahat. Kesehatan dan ketahanan fisik adalah modal untuk hasil yang baik. Di antara kebebasan itu, mereka kurang menyukai birokrasi. Baginya birokrsi dapat menghambat kreativitas mereka.
“Biarlah birokrasi itu ada, namun biarkan juga orang lain yang mengurusnya karena tanpa birokrasi aturan yang ada akan menjadi kacau” Itu yang sering mereka katakan. Mereka tak ingin terjun ke dalamnya.
Pagi tentunya waktu untuk kuliah. Waktu kuliah tidak sampai sore, hamya sampai tengah hari. dan itu pun setiap hari, kecuali hari sabtu dan minggu. Hari sabtu dan Minggu adalah hari bebas kuliah. Seusai kuliah adalah waktu yang bebas untuk mereka gunakan Kegiatan formal tidak mengikatnya. Mereka menggunakan waktu yang luang untuk berkarya., khusuusnya karya seni. Dari karya-karyanya itu, mereka menghasilkan banyak uang untuk membantu kehidupan mereka. Tak jarang nama-nama mereka terpampang di media masa baik lokal maupun nasional. Karya-karya mereka berupa essai, puisi novel dan lukisan.
Mereka suka berkelana ke segala penjuru kota untuk mengamen. Ngamen adalah hiburan bagi mereka sendiri dan orang lain. Dari ngamen, uang yang diperoleh adalah tujuan kesekian kali. Tujuan utama adalah mengeksplor bakat dan tentunya melatih mental untuk menghadapi segala tantangan serta pengalaman. Tak jarang mereka mereka menemukan pengalaman yang pahit dari mengamen. Tapi tentunya itu semakin menjadi warna hidup yang menghiasi kisah mereka. Dicaci, dicemooh, diusir dan sedret kata-kata yang tidak mengenakan sering mereka rasakan. Itupun dapat menjadi pengetahuan tersendiri bagi mereka yakni dapat melihat berbagai karakter dan sikap banyak orang.
Mengamen di tempat umum adalah hal yang penuh dengan tantangan. Mereka semampunya dapat menjadi seekor bunglon yang snggup merubah warna atau seekor cicak yang memotong ekornya ketika ada sesuatu yang membahayakan. Harus main petak umpet dengan preman-preman yang ada. Nyali mereka harus besar untuk meladang di beberapa tempat yang telah diakui sebagai wilayah kekuasaan para preman. Padahal kekuasaan seharusnya berada di tangan pemerintah. Walu sebenarnya pemerintah sendiri terkadang menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Mereka mengaku sebagai pihak keamanan tanpa nomor induk. Adakah pertanyaa bagi semua orang “ Buat apa polisi?”
Sore itu setelah paginya mereka berpikir keras untuk ujian, mereka putuskan untuk mengamen. Sore itu seitar pukul empat. Anton berjalan tegak dengan menenteng gitar kesayangannya. Begitu pula dengan Tono . Ia membawa kentrungnya. Rudi tak membawa alat musik seperti halnya mereka berdua. Ia hanya memakai topi yang sering digunakan untuk tempat uang ketika mengamen. Ia hanya mengandalkan suara dan tepuk tangan dalam menjalani profesi sebagai pengamen. Meeka beraksi di setiap gang perumahan. Berdendang lagu bersama-sama setiap di depan rumah. Entah rumah siapa,mereka tak perduli. Entah rumah polisi, dosen, dokter bahkan rumah teman-teman kuliah mereka sambangi. Seratus, dua ratus, lima ratus dan bahkan seribu. Untuk jumlah yang terakhir itu jarang sekali mereka dapatkan. Tapi entah ada angin apa, sore ini mereka sudah mendpatkan empat lembar uang seribuan. Entah hari baik atau nasib yang sedang mujur.
Senja telah datang. Mereka belum juga mengakhiri pekerjaannya sebagai pengamen. Adzan maghrib berkumandang. Ibadah juga adalah komitmen mereka. Hidup adalah untuk beribadah dan berkarya. Hidup tanpa amal dan karya adalah kosong tanpa makna.
Setelah sholat Maghrib mereka melanjutkan mengamen. Namun tidak dikomplek perumahan, melainkan di bus-bus malam. maklum hari mulai malam. Dan mereka bernyanyi dari stu bus ke bus yang lain. Dan kejadian itu terjadi. Bus telah berhenti di terminal. Mereka hendak turun, pengamen lain masuk ke dalam bus. Dan inilah, pengamen yang baru masuk merasa ladangnya telah dimasuki kucing liar.
Aksi saling debat terjadi. Keributan segera terjadi. Mereka tak sempat lari dan segera di seret ke gang sempit. Pengamen lain tersebut membawa teman-temannya yang sering nongkrong di terminal tersebut. Jumlahnya sekitar delapan orang. Mereka hanya dan harus bertahan karena dikeroyok. Sepucuk belati keluar dari tangan dan mencoba menhujamkannya ke tubuh Rudi. Tangan Anton menangkis dan tak sengaja menusuk dada seseorang dari kawanan. Satu preman mati.
Polisi datang mengintrogasi. Mereka ditangkap karena sidik jari Anton melekat dalam belati. Beragam alasan yang merek kemukakan. Tapi nyatanya sia-sia. Menjadi sosok sebagai pengamen dan hidup di jalanan telah mencap mereka sebagai sosok yang begitu dengan kriminalitas. Status mahasiswa tak menguatkan alasan-alasan yang meringankan mereka. Dan inilah sebuah kenyataan yang harus dihadapinya.
Semua dijadikan tersangka. Dan Anton adalah sebagai tersangka utama. Lebih buruk lagi, pihak kampus dengan aturan yang ada telah menjatuhan vonis drop out terlebih dahulu. Hal ini untuk menjaga nama baik kampus. Kini mereka mendekam di penjara. Dingin, kotor, sumpek memenuhi segala suasana. Harapan meraih cita sebagai sarjana sudah pupus. Namun ini semua belum sepenuhnya pupus, mungkin hanya tertunda saja. Mereka percaya bahwa tuhan itu adil. Entah sampai kapan mereka harus menjalani keterpurukan ini. Hanya waktu yang akan menjawab.
Surakarta, 29 Maret 2007
“ Ton!, Mau rokok nggak? ini aku masih ada!” pemuda yang baru sajamenyulut rokok menawarkan rokoknya kepada Anton. Ia bernama Rudi. Seketika pemuda yang lebih dulu menikmati rokok menyahut.
“ Mana mungkin dia mau merokok, lha dia sudah berjanji dihadapan orang tuanya untuk tidak menikmati yang namanya rokok.”
Anton sejurus menatap Tono yang baru saja berbicara. Anton hanya mengembangkan senyum persahabatannya. Anton selalu ingat janji itu. apalagi di saat ada orang yang menawarinya untuk merokok. Bagi kehidupannya, janji itu seperti adegan slow motion yang di ulang-ulang dalam sebuah film. Bahkan sekarang ia sudah menganggap janji itu sebagai prinsip hidup yang harus selalu ia pegang.
“ Ingkari saja janjimu itu. Sekarang jamannya sudah biasa ingkar janji. Presiden saja suka ingkar janji, kok kita sebagai rakyatnya tidak mau bahkan tidak boleh ingkar janji?” Ungkap Rudi.
Anton hanya diam dengan pernyataanitu. Ia hanya menikmati waktu istirahatnya dengan memainkan gitar yang berada di pangkuannya. Ia memainkan lagu yang sedang popular di bulan ini. Mereka terlihat sangat lelah. Rasa kantuk menghinggapi mereka. Rudi mengusulkan untuk pulang karena rasa kantuknya sudah tak dapat ditahan lagi. Semua menyetujuinya. Terlihat langkah kaki mereka meninggalakn emperan toko.
Malam telah mengganti senja. Bintang-bintang menyala terang menghiasi singgasana langit. Suara serangga malam saling bersahutan melawan kebisingan kendaraan kota yang semakin malam semakin berkurang.
Mereka tampak sibuk dengan bukunya masing-masing dalam sebuah ruang. Mereka harus menyiapkan otak dan mental mereka untuk menghadapi ujia yang akan diadakan dosennya. Dosen yang terkenal killer di antara dosen-dosen lainnya. Kebiaasannya memberi nilai seadanya bahkan terkenal sangat pelit. Bukan pelit, namun dosenitu terlalu objektif terhadap mahasiswanya tanpa melihat aspek-aspek yang lain seperti kerajinan, kelakuan dan lainnya.
Pagi begitu cerah. Langit biru terang terpendar cahaya mentari. Anton, Tono dan Rudi sudah siap berangkat kuliah dengan dandanan yang lumayan klimais. Pagi itu mereka berangkat lebih pagi dari biasanya karena jam pertama ada ujian oleh dosen killer yang pernah mereka jumpai. Sampai soal ujian dibagikan dan disuruh mengerjakan. Terlihat ruang kuliah ynag padat mahasisiwa itu sangat sepi. Meski ada suara, paling-paling hanya suara pulpen jatuh atau decitan kursi bergeser.
Tepat tengah hari kegiatan kuliah selesai. Jam pertama sampai jam kedua adalah ujian. Jam selanjutnya mereka hanya duduk tenang menyimak kuliah dari dosen lain sampai kuliah selesai. Anton mengajak Tono dan Rudi untuk makan di kantin. Mereka menyetujuinya. Dengan segera mereka menuju ke kantin. Kantin termurah di kampusnya dengan plakat “Kantin Sederhana”. Nama kantin itu cocok sekali dengan harga makanan yang dijual di kantin tersebut.
” Bagaiman nanti sore? Kita mau ngamen tidak?” Rudi bertanya pada Anton dan Tono.
“ Tentu dong!” Jawab mereka serentak.
Inilah kehidupan mereka. Mahasiswa dengan sederet kegiatan. Mereka menyukai kebebasan dan seni adalah bagiannya.Waktu luang adalah momok bagi mereka. Pemikiran dasarnya adalah tidak menyia-nyiakan waktu yang ada. Sekecil apapun waktu luang, harus mereka isi dengan hal yang berguna. Walau demikian, mereka tetap memerlukan waktu istirahat. Kesehatan dan ketahanan fisik adalah modal untuk hasil yang baik. Di antara kebebasan itu, mereka kurang menyukai birokrasi. Baginya birokrsi dapat menghambat kreativitas mereka.
“Biarlah birokrasi itu ada, namun biarkan juga orang lain yang mengurusnya karena tanpa birokrasi aturan yang ada akan menjadi kacau” Itu yang sering mereka katakan. Mereka tak ingin terjun ke dalamnya.
Pagi tentunya waktu untuk kuliah. Waktu kuliah tidak sampai sore, hamya sampai tengah hari. dan itu pun setiap hari, kecuali hari sabtu dan minggu. Hari sabtu dan Minggu adalah hari bebas kuliah. Seusai kuliah adalah waktu yang bebas untuk mereka gunakan Kegiatan formal tidak mengikatnya. Mereka menggunakan waktu yang luang untuk berkarya., khusuusnya karya seni. Dari karya-karyanya itu, mereka menghasilkan banyak uang untuk membantu kehidupan mereka. Tak jarang nama-nama mereka terpampang di media masa baik lokal maupun nasional. Karya-karya mereka berupa essai, puisi novel dan lukisan.
Mereka suka berkelana ke segala penjuru kota untuk mengamen. Ngamen adalah hiburan bagi mereka sendiri dan orang lain. Dari ngamen, uang yang diperoleh adalah tujuan kesekian kali. Tujuan utama adalah mengeksplor bakat dan tentunya melatih mental untuk menghadapi segala tantangan serta pengalaman. Tak jarang mereka mereka menemukan pengalaman yang pahit dari mengamen. Tapi tentunya itu semakin menjadi warna hidup yang menghiasi kisah mereka. Dicaci, dicemooh, diusir dan sedret kata-kata yang tidak mengenakan sering mereka rasakan. Itupun dapat menjadi pengetahuan tersendiri bagi mereka yakni dapat melihat berbagai karakter dan sikap banyak orang.
Mengamen di tempat umum adalah hal yang penuh dengan tantangan. Mereka semampunya dapat menjadi seekor bunglon yang snggup merubah warna atau seekor cicak yang memotong ekornya ketika ada sesuatu yang membahayakan. Harus main petak umpet dengan preman-preman yang ada. Nyali mereka harus besar untuk meladang di beberapa tempat yang telah diakui sebagai wilayah kekuasaan para preman. Padahal kekuasaan seharusnya berada di tangan pemerintah. Walu sebenarnya pemerintah sendiri terkadang menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Mereka mengaku sebagai pihak keamanan tanpa nomor induk. Adakah pertanyaa bagi semua orang “ Buat apa polisi?”
Sore itu setelah paginya mereka berpikir keras untuk ujian, mereka putuskan untuk mengamen. Sore itu seitar pukul empat. Anton berjalan tegak dengan menenteng gitar kesayangannya. Begitu pula dengan Tono . Ia membawa kentrungnya. Rudi tak membawa alat musik seperti halnya mereka berdua. Ia hanya memakai topi yang sering digunakan untuk tempat uang ketika mengamen. Ia hanya mengandalkan suara dan tepuk tangan dalam menjalani profesi sebagai pengamen. Meeka beraksi di setiap gang perumahan. Berdendang lagu bersama-sama setiap di depan rumah. Entah rumah siapa,mereka tak perduli. Entah rumah polisi, dosen, dokter bahkan rumah teman-teman kuliah mereka sambangi. Seratus, dua ratus, lima ratus dan bahkan seribu. Untuk jumlah yang terakhir itu jarang sekali mereka dapatkan. Tapi entah ada angin apa, sore ini mereka sudah mendpatkan empat lembar uang seribuan. Entah hari baik atau nasib yang sedang mujur.
Senja telah datang. Mereka belum juga mengakhiri pekerjaannya sebagai pengamen. Adzan maghrib berkumandang. Ibadah juga adalah komitmen mereka. Hidup adalah untuk beribadah dan berkarya. Hidup tanpa amal dan karya adalah kosong tanpa makna.
Setelah sholat Maghrib mereka melanjutkan mengamen. Namun tidak dikomplek perumahan, melainkan di bus-bus malam. maklum hari mulai malam. Dan mereka bernyanyi dari stu bus ke bus yang lain. Dan kejadian itu terjadi. Bus telah berhenti di terminal. Mereka hendak turun, pengamen lain masuk ke dalam bus. Dan inilah, pengamen yang baru masuk merasa ladangnya telah dimasuki kucing liar.
Aksi saling debat terjadi. Keributan segera terjadi. Mereka tak sempat lari dan segera di seret ke gang sempit. Pengamen lain tersebut membawa teman-temannya yang sering nongkrong di terminal tersebut. Jumlahnya sekitar delapan orang. Mereka hanya dan harus bertahan karena dikeroyok. Sepucuk belati keluar dari tangan dan mencoba menhujamkannya ke tubuh Rudi. Tangan Anton menangkis dan tak sengaja menusuk dada seseorang dari kawanan. Satu preman mati.
Polisi datang mengintrogasi. Mereka ditangkap karena sidik jari Anton melekat dalam belati. Beragam alasan yang merek kemukakan. Tapi nyatanya sia-sia. Menjadi sosok sebagai pengamen dan hidup di jalanan telah mencap mereka sebagai sosok yang begitu dengan kriminalitas. Status mahasiswa tak menguatkan alasan-alasan yang meringankan mereka. Dan inilah sebuah kenyataan yang harus dihadapinya.
Semua dijadikan tersangka. Dan Anton adalah sebagai tersangka utama. Lebih buruk lagi, pihak kampus dengan aturan yang ada telah menjatuhan vonis drop out terlebih dahulu. Hal ini untuk menjaga nama baik kampus. Kini mereka mendekam di penjara. Dingin, kotor, sumpek memenuhi segala suasana. Harapan meraih cita sebagai sarjana sudah pupus. Namun ini semua belum sepenuhnya pupus, mungkin hanya tertunda saja. Mereka percaya bahwa tuhan itu adil. Entah sampai kapan mereka harus menjalani keterpurukan ini. Hanya waktu yang akan menjawab.
Surakarta, 29 Maret 2007
Posting Komentar untuk "Cerpen Kali Ini"