Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Bukit Sunyi


Tiba-tiba saya teringat kampung halaman. Sebuah kampung—lebih tepatnya desa—di pinggiran kabupaten Wonogiri. Sepuluh tahun sudah saya tak pernah mengunjunginya lagi. Saya menjadi seorang transmigran di Jambi. Mengelola sebuah kebun kelapa sawit dari angka nol besar. Setidak-tidaknya saya berucap syukur, karena pemerintah masih memperhatikan pengangguran-pengangguran desa seperti saya dengan memberikan modal berupa tanah untuk dikelola menjadi sumber penghidupan.
Saya sudah rindu dengan tanah tempat tubuh ini dibesarkan. Rindu pada sebuah bukit kecil di belakang rumah yang menyimpan sejuta pesona sampai sekarang. Dan memang bukit kecil itulah yang paling tajam menyematkan rasa rindu untuk segera pulang ke desa. Walaupun saya sudah ditinggalkan kedua orang tua saya sejak kecil, namun saya tak dapat melupakan sanak saudara yang turut memberikan doa bagi saya sehingga sekarang dapat hidup dengan nyaman di tanah rantau. Kadang-kadang saya mengirimkan uang kepada adik saya yang ada di desa. Dia satu-satunya saudara kandung yang saya miliki.
Maka dengan kebulatan tekad, saya memutuskan untuk pulang ke jawa, ke sebuah desa yang menyimpan sejuta kenangan masa kecil. Dengan perjalanan yang cukup melelahkan dan berganti-ganti kendaraan, akhirnya saya sampai di desa saya dan ojek adalah kendaraan terakhir yang saya tumpangi. Tampaknya sudah banyak yang berubah dengan desa saya ini.
Waktu telah menunjukkan Jam sembilan malam. Saya tak langsung pulang menuju rumah tempat tinggal saya dulu. Namun menuju bukit kecil yang berada di belakang rumah karena bukit inilah yang telah lama saya rindukan Saya sempatkan melihat rumah saya dari jauh. Terlihat sepi dan nampak ada beberapa perubahan.
Di bawah bukit itu saya memandang ke atas, malam itu agak terang karena bulan separo menyembul hangat di antara beberapa awan putih yang berarak di langit. Dengan melewati jalan setapak, saya menaiki bukit itu. Tampak menyenangkan dan menenangkan batin. Saya seperti kembali ke masa lalu. Hampir sebagian besar masa kecil saya, saya habiskan di bukit ini. Mulai dari bermain, merenung, melamun sendiri, menangis, menangkap burung, hingga mencari rumput untuk makanan kambing peliharaan saya.
Terasa sebuah kepuasaan setelah mencapai puncaknya. Bintang seperti menjadi bunga-bunga di atas taman langit. Di bawah terlihat beberapa lampu jalan dan rumah yang seakan-akan menjelma sinar bintang di atas bumi. Tampak estetis sekali.
Saya lantas teringat seorang yang bernama Sarasvati. Perempuan berdarah Sunda itu sangat tertarik ketika saya ceritakan masa kecil saya di atas bukit ini. Dia ingin sekali melihat bintang di atas bukit ini bersama saya sambil menikmati jagung bakar selagi hangat-hangat. Tampaknya dia adalah perempuan yang sangat senang berimajinasi. Dia adalah salah satu tetangga saya di Jambi sana yang sebentar lagi mungkin akan menjadi bagian dari cinta dan kehidupan saya. Namun ketika saya memutuskan pulang ke desa saya di jawa ini, ia tak dapat ikut karena sibuk dengan perkebunannya.
Setelah melihat sekitar bukit dan pemandangannya, tampaknya ada yang kurang di antara penglihatan mata saya. Hal ini berbeda dengan keadaan ketika saya masih kecil. Malam ini tak ku temui seekor kunang pun. Padahal dulu, di atas bukit itu banyak kunang yang beterbangan. Seakan-akan kunang-kunang itu menjadi ribuan prajurit yang menjaga bukit dari kegelapan malam. Saya juga tak tahu mengapa kunang-kunang itu sudah tak terlihat lagi di atas bukit ini. Aku merindukan kunang-kunang itu. Tanpa kunang-kunang itu seribu suara jangkrik yang membahana malam tampak sunyi dan seakan-akan bukit ini menjelma bukit sunyi.
Malam semakin malam, saya beranjak pulang. Saya ketuk pintu rumah tempat saya dibesarkan itu. Lama sekali, hingga muncullah seorang laki-laki berambut agak ikal dan berkulit hitam. Tak lain dia adalah adik kandung saya satu-satunya. Pelukan hangat segera mendarat ke tubuhnya yang berkaos dan dililit sarung kumal itu.
Ketukan pintu yang saya lakukan membangunkannya dari lelap tidur. Dengan rasa kantuk yang masih tersisa, ia sempatkan membuat teh hangat untuk saya. Kami sempatkan ngobrol beberapa masalah tentang hidup kami dan keadaan desa ini. Dia katakana bahwa desa ini akan terkena proyek Jalur Lintas Selatan. Namun ia mengatakan bahwa rumah ini tidak terkena gusuran poyek tersebut. Saya pun lega mendengarnya, karena tanah dan rumah ini memang warisan dari orang tua yang mesti dijaga. Sebetulnya masalah tentang proyek Jalur Lintas Selatan ini cukup menarik untuk diperbincangkan, namun rasa kantuk ini sudah tak dapat saya tahan. Sebelum masuk kamar, adik saya ingin mengatakan perihal bukit di belakang rumah. Namun kantuk yang menyerang saya mengalahkan segalanya, saya mengatakan agar dibahas besok pagi saja.
Suara kokok ayam bersahutan, saya terjaga, namun setelah salat subuh rasa kantuk menyerang lagi karena badan saya memang lelah sekali. Akhirnya sekitar jam sembilan pagi saya terbangun karena suara yang menderu-deru di belakang rumah. Saya segera ke belakang rumah untuk mengetahuinya.
Saya terbelalak kaget. Alat-alat berat dengan gagahnya menggempur bukit itu. Suara gergaji mesin menumbangkan pohon-pohon yang telah tumbuh puluhan tahun. Hatiku miris melihatnya. Hampir air mata ini menetes. Dan dari belakang adik saya berucap lirih
“ Ini yang ingin aku katakan tadi malam”

Gambar dari: chaliim.wordpress.com/2007/11/
Andi Dwi Handoko
Andi Dwi Handoko Pendidik di SMP Negeri 2 Jumantono. Pernah mengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta dan menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar di Solo. Suka mengolah kata-kata di DapurImajinasi dan kadang juga di media massa. Pernah juga mencicipi sebagai pelatih Teater Anak dan Pimred Majalah Sekolah. Suka juga bermusik. Hubungi surel adhandoko88@gmail.com, Instagram adhandoko88, atau facebook.com/andi.d.handoko

Posting Komentar untuk "Bukit Sunyi"