Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Diorama Cerita di Sebuah Kota


Matahari telah mengarahkan matanya ke jendela kamarku. Ruang-ruang gelap mulai berubah menjadi terang. Pikiranku masih terhanyut akan sebuah rencana untuk kembali ke kampung halaman. Di telingaku terlintas bayang lengkingan bunyi kereta api yang merapat dekat denganku. Suara deru roda besi seolah menjadi kidung pesona untuk dilantunkan. Getaran akibat roda besi yang menggerus rel sudah ku bayangkan dapat memualkan perutku yang tak biasa sarapan.
Aku telah bersiap diri. Segalanya telah ku bereskan. Aku akan pulang mengenang kenangan. Aku akan mengosongkan semua barang milikku. Namun aku takkan mengosongkan jejak-jejakku yang terukir kuat di sini. Terutama jejak yang membekas menjadi sebuah diorama bersama seorang gadis. Diorama pertemuan dalam satu hari saja. Dan ku kemas semua barang. Tampaknya kantor paket pengiriman barang di seberang jalan akan bertambah sibuk hari ini.
Langit mendung dan sesekali terdengar suara petir yang tak begitu memekakkan telinga. Dengan sebuah tas ransel besar dan padat, aku meninggalkan rumah kontrakan yang telah ku huni selama lima tahun lebih. Langkahku mantap meninggalkan kota ini. Jejak-jejakku berakhir dengan sambutan pintu taksi yang akan mengarahkanku ke stasiun.
Setiba di stasiun senen, tampak gerimis menyambutku dengan iringan kilat-kilat petir serupa blitz kamera fotografer. Tampaknya aku akan berlama-lama di stasiun ini karena menurut pengumuman dari petugas stasiun, Kereta Api yang akan mengantarkanku ke Solo datang terlambat. Maka ku habiskan waktu untuk menunggu dengan duduk ruang pojok lantai stasiun. Puluhan bahkan ratusan calon penumpang kereta berlalu lalang di depan tempatku duduk. Tas-tas besar mengiringi langkah-langkah mereka.
Memperhatikan semua itu, aku seperti mendapat sebuah hiburan tersendiri. Di sudut tempatku duduk, terlihat anak kecil merengek meminta es krim kepada ibunya. Tukang Koran mondar-mandir menawarkan korannya. Pedagang asongan menawarkan dagangannya kepada para calon penumpang. Sedangkan aku masih duduk sendiri membaca dan mencoba mengartikan setiap apa yang aku lihat.
Ada sepotong kenangan yang kemudian melintas dalam pikiranku. Tentang kota yangakan ku tinggalkan ini. Empat tahun, aku habiskan masa kuliahku di sini. Satu tahun lebih aku habiskan untuk sekedar melepas lelah setelah mengejar gelar sarjana. Bukan aku merepotkan kedua orang tuaku yang ada di Solo sana. Setelah lulus kuliah, tak ada uang saku bagiku dari orang tua. Tapi aku dapat bertahan di sini dengan honor tulisan-tulisanku yang ku kirimkan dan dimuat di beberapa media masa. Aku tak dapat mengelak lagi, ketika ayahku meminta pulang karena di Solo sana ada sebuah lowongan kerja yang cukup baik bagiku.
Gerimis telah berubah menjadi hujan. Angin yang sekali menampuk tetes air hujan, menjadi tempias yang kadang sampai di mukaku. Aku mencari tempat yang agak ke dalam agar tak terkena tempias hujan. Tak sengaja tatapku bertemu dengan wajah yang sepertinya tak asing di memori otakku.
“Arini?!!!” aku berteriak kaku.
Sepintas ia melihatku. Dahinya berkerut menandakan sedang berpikir untuk mengeja memori otaknya untuk menemukan jawaban siapa aku. Kepalanya miring ke kiri, seperti pose model dalam peragaan busana. Aku menghampirinya seraya menenteng tas ranselku yang tadi aku letakkan di lantai.
“Arini?” aku menegaskan lagi pertanyaan tanpa kata tanya itu.
“Monas?” ia menjawab pertanyaan─tanpa kata tanya─ku dengan senyuman yang khas.
Kita berjabat tangan seraya tawa menggelegar keluar dari mulut kami. Tentu saja kami tertawa, karena ia menjawab pertanyaan─tanpa kata tanya─ku dengan kata Monas. Itu yang membuat lucu karena namaku bukanlah Monas.
“Koko, apa kabar?”
Ia dengan tegas dan jelas menyebut namaku. Aku menangkap wajahnya yang teduh dengan binar senyum yang begitu manis.
“Baik sekali Rin, , bagaimana denganmu?”
“Sama jug Ko, aku baik-baik saja”
“Mau kamana loe?”
“Mau ke Surabaya”
“Ouh…ke rumah nenekmu itu, liburan”
“Tidak, aku ada tugas meliput di suatu daerah di Surabaya”
Tampaknya cita-cita orang di hadapanku sudah terwujud. Dulu keinginannya begitu kuat untuk menjadi seorang yang berkecimpung di bidang jurnalis. Ternyata ia sekarang sudah menjadi seorang wartawan. Kita pun duduk di lantai.
“Ayo ke Monas lagi!” candanya padaku.
Dan memang itulah yang tetap mengingatkanku padanya. Mungkin ia juga begitu. Obrolan kita menuju kembali ke sebuah diorama yang pernah terukir ketika kita bertemu di monumen dengan puncak obor emas menyala itu.

***
Taman Monas dengan suguhan air mancur itu menjadi deskripsi latar ketika aku menangkap bias wajahnya kala itu. Aku duduk di atas rerumputan hijau di bawah pohon palem. Ia sendiri menatap gemericik air yang terus berotasi dari bawah ke atas, pun sebaliknya dari atas turun ke bawah lagi. Takjub mataku melihatnya serupa bidadari di taman surga. Namun aku yang memang bertipe orang pemalu, terlalu takut untuk mengajak kenalan.
Di taman itu hanya sejumput penggalan kisah antara aku dan ia. Kemudian berlalu begitu saja, ketika aku mulai naik ke atas Monas untuk menikmati Jakarta di pagi hari. Hari minggu agak terlalu ramai, namun pemandangan kota dari atas memperlihatkan jalan-jalan kota yang agak terlalu longgar tak seperti hari kerja.
Di atas puncak Monas, jauh tatap pandangku menangkap gagahnya gunung Salak. Mataku seolah kaku dengan hipnotis keindahannya. Betapa agung karya Tuhan sang pencipta tersebut. Kemudian beralih ke bagian utara, laut jawa begitu terlihat biru teduh. Jalan-jalan kota pun menjadi sebuah alur-alur yang estetis. Mataku tetap terfokus pada sketsa alam tersebut. Hingga tak sadar ketika aku membalikkan tubuh, aku menyenggol seorang perempuan. Dan sebuah keajaiban, ia adalah perempuan yang berada di taman, di balik air mancur.
“Maaf”
“Oh tidak apa-apa…” jawabnya sekilas dengan iringan senyum tipis yang manis sekali.
Seolah Tuhan memang mempertemukan kami di sana. Ia memang seorang gadis yang pandai bicara. Ia mulai memperkenalkan dirinya kepadaku.
“Namaku Arini”
Sungguh sebuah analogi durian runtuh di hadapanku yang memiliki status pria pemalu ini. Obrolan ringan mulai terjadi. Cerita tentang Monas membuat obrolan kita semakin nyaman. Sambil menatap pemandangan kota, kita bertukar pikiran dan pengalaman. Ia bercerita tentang keinginannya menjadi seorang wartawan.
Setelah lama ngobrol, ku ketahui ia anak asli Jakarta. Tinggal di Kebon Jeruk. Dari nama daerah Kebon Jeruk itulah kita berdiskusi cukup panjang tentang Soe Hoek Gie. Ia sangat menyukai puisi dari buku catatan Soe Hoek Gie. Aku pun dapat mengimbangi arah pembicaraannya, karena memang pada dasarnya aku adalah mahasiswa jurusan sastra.
Ia adalah gadis yang paling ajaib bagiku. Ia adalah seorang gadis yang baru ku kenal namun begitu akrab denganku. Ketika di mulai jenuh di puncak Monas, kita turun untuk berpisah. Di saat itulah diorama yang paling indah bagiku. Lift untuk turun ternyata sedang mengalami kerusakan sehingga dengan terpaksa kami menggunakan tangga darurat. Dari atas hingga bawah aku pegang tangannya. Bagiku hal itu seperti menjelmakan diriku menjadi Rama yang dengan gagahnya menggandeng Sinta.
Hanya pada saat itu kami bertemu, tiga tahun yang lalu, selanjutnya tak ada kabar. Ku ajak bertukar nomor telepon, tapi dia menolak. Ia hanya menyerahkan alamatnya di kebon Jeruk kepadaku. Namun setelah beberapa minggu aku menyempatkan untuk bertemu dengannya, ternyata rumahnya sudah pindah. Dan itulah sebuah kekecewaan yang cukup berarti bagiku.
Dan kini ia telah ada di sampingku. Bercerita lagi tentang diorama-diorama kehidupannya. Bercerita tentang kepindahannya ke tanah abang dan sederet cerita yang terangkum dalam tarian indah mulut kecilnya itu. Ia masih seperti dahulu ketika aku bertemu dengannya di taman Monas. Masih seperti bidadari di taman surga. Matanya , masih teduh, senyumnya masih manis, tawanya masih lembut terdengar. Ku kira bukanlah suatu kesalahan jika selama ini aku merindukannya.
Obrolanku denganny apecah. Suara lengkingan kereta api jurusan Surabaya terdengar keras di telinga. Petugas stasiun mengumumkan bahwa kereta eksekutif jurusan Surabaya sudah tiba sedangkan kereta ekonomi jurusan Solo masih menunggu sekitar lima belas menit lagi. Ia bangkit dari duduknya di sampingku. Aku pun menyusulnya bangkit. Sebuah pertemuan singkat. Dulu dengan sekarang tetaplah sama, menjadi sebuah diorama yang kecil namun sangat mengesankan bagiku.
Ia berlari kecil menyambut kereta. Aku mengucapkan salam perpisahan. Bagiku berbagi kisah dengannya adalah suatu hal yang paling indah dari pada yang lainnya. Dari luar kereta mataku masih tertuju padanya. Ia duduk di tepi jendela. Dari ceritanya, ia memang paling suka duduk di tepi jendela ketika naik kereta atau bus Karena ia bisa menikmati perjalananan. Aku pun membenarkan pernyataannya tersebut.
Suara lengkingan keretanya kembali berderu keras bertanda kereta akan berangkat. Aku melambaikan tangan, ia pun begitu. Ia tersenyum tipis. Manis sekali. Kereta mulai berjalan pelan. Ia terus melambaikan tangan padaku. Kemudian kereta semakin cepat. Jauh akhirnya menjauh. Kereta itu hanya membekaskan senyumnya dalam benakku. Aku hanya bisa menatap bagian kereta itu yang samakin lama semakin kecil. Hilang.
Dia adalah diorama yang mengisi ruang hatiku yang kosong. Aku berbalik menuju ruang tunggu stasiun. Hujan telah reda. Sungguh hujan yang teramat singkat seperti kisahku dengannya. Dan aku baru tersadar, ada yang terlupa. Aku tak sempat meminta nomor teleponnya.


Solo, 10 November 2008
Andi Dwi Handoko
Andi Dwi Handoko Pendidik di SMP Negeri 2 Jumantono. Pernah mengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta dan menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar di Solo. Suka mengolah kata-kata di DapurImajinasi dan kadang juga di media massa. Pernah juga mencicipi sebagai pelatih Teater Anak dan Pimred Majalah Sekolah. Suka juga bermusik. Hubungi surel adhandoko88@gmail.com, Instagram adhandoko88, atau facebook.com/andi.d.handoko

Posting Komentar untuk "Diorama Cerita di Sebuah Kota"