Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Jejak Bayangan


Terlarut panjang kakinya melangkah diantara liku-liku jalan. Jarak yang begitu jauh meletihkan rajutan otot tubuhnya. Tak terasa peluh mulai mengaliri antara bagian-bagian tubuhnya. Seolah ia hanya terbang dengan sayap yang sebenarnya hanya sepasang kaki. Mengayuh ringan tubuhnya hingga terhempas ke tempat yang jauh. Tempat asing bagi mata dan arahnya. Sepasang kakinya kini mulai terayun pelan. Segala daya mulai menghimpit letih yang hilang sadar. Sebentuk ruh mungkin baru terlepas dari tubuhnya dengan menyisakan sesak di dada. Terdengar napas yang memburu tak beraturan. Tubuhnya terasa remuk hingga sendi-sendi seperti lepas dari tulang belulangnya.
Ia sadar.
Tubuhnya kini bersandar pada kuatnya batang mahoni yang gagah menancapkan akarnya ke dalam bumi. Sementara daunnya bagaikan atap dunia, melindungi siapa saja yang berada di bawahnya. Sejenak napasnya terbantu oleh semilir angin yang menerpa wajahnya. Berusaha menguapkan butiran keringat yang menempel di dahinya.
Ia mulai meratapi tentang apa yang baru saja terjadi. Memeluk bayangan , terasa menempel diantara ruang pikirnya. Matanya menerawang jauh ke sekumpulan awan putih di tengah megah azzura langit.
Ruang batinnya membendung luapan tangis dan tak dapat keluar dari sudut matanya. Hanya penat tertahan di hati dan membuatnya semakin terlunta-lunta. Seandainya luapan itu keluar dari sudut matanya , mungkin akan sedikit membuatnya lega.
Matanya tertuju pada sebelah tangannya. Bintik-bintik hitam agak kemerah-merahan terlihat menghiasinya. Bahkan ada yang melebar sampai sela-sela jari dan telapak tangannya. Timbul dalam benak pikirannya bahwa itu adalah lukisan alami yang mempunyai seni tinggi.Bukan! Bukan lukisan alami, namun lukisan yang muncul tanpa di sengaja. Entah apa namanya. Mungkin anggapan itu terasa sangat konyol. Sebentuk lukisan yang menghiasi tangannya muncul setelah ia melakukan suatu hal di luar kesadarannya.
Ya.Ia baru saja melakukan hal terburuk semasa hidupnya. Sekerlip bayangan muncul di depan ruang mata dan batinnya. Sesosok bayangan lelaki dan perempuan berada di sebuah ruang yang temaram. Ruang yang mungkin di sengaja di buat remang-remang agar cahaya tidak masuk dari luar. Senja seolah menolong ruang itu, sehingga mulai tampak sebuah keremangan yang terlihat semakin menuju gelap.
Mereka menari layaknya tarian setan yang melahirkan permainan napas dan peluh mengucur dengan deras. Pintu ruang itu terbuka. Cahaya masuk dari celah pintu yang di buka dari luar. Sesosok pemuda muncul dengan pakaian agak lusuh. Mungkin ia baru saja melakukan pekerjaan berat dan membuat penampilannya terkesan lusuh. Raut mukanya seketika berubah merah menyala seakan mau membakar habis semua yang ada di hadapannya. Wajah kusamnya menjilat-jilat api kemarahan Geram hati, perasaan dan pikirannya meluap begitu saja.
“Mona” Sentaknya.
Seketika lelaki dan perempuan yang di hadapannya terperangah melihatnya. Tarian setan pun berhenti. Kedua pasang mata mereka tampak menunjukkan ekspresi kaget sekaligus takut. Terlihat mereka segera menutupi tubuhnya yang tak tertutupi secuil busana.
Perempuan itu segera menarik selimut yang berada di sampingnya. Sebuah celana kolor di atas ranjang di sambar tangan lelaki itu dengan cepat.
“Paman..!” Sentaknya lagi.
“Firman? Aku……aku……” ucap lelaki itu terbata-bata.
“Bangsat kalian”
“Istri sundal”
“Lelaki biadap” Ucap pemuda itu dengan nada yang super tinggi.
Tiba-tiba tatapan pemuda itu kosong.
Gelap. Seluruh pembendaharaan matanya hanya melihat ruang gulita. Hanya tertangkap di kedua matanya sepasang serigala, yang satu tampak serigala jantan dan yang satu lagi serigala betina. Mata sepasang serigala itu keluar sebuah sinar penuh dosa. Tubuh pemuda itu bergetar seolah ada ruh yang merasukinya. Dengan langkah terrtatih namun menggebu pemuda itu mendekat sepasang serigala di hadapannya dengan amarah memuncak.
“Plak..!”
Tangannya terayun keras. Sebuah tamparan yang lebih enak di dengar dengan sebutan gamparan kuat, mendarat tepat di muka serigala jantan. Keberingasan segera muncul setelah mendapat perlakuan yang membuat muka serigala itu sakit. Keduanya masuk ke dalam sebuah permainan emosi. Dua makhluk Tuhan terlibat perkelahian sengit.
Dalam keadaan itu, seperti tidak ada nurani, moral, atau hukum yang berlaku. Hanya insting terbalut amarah yang berfungsi. Satu-satunya hokum yang berlaku adalah hokum rimba. Siapa yang kuat dia yang dapat., wlau harus menyalahi kodrat alam. Keduanya mengandalkan insting untuk saling mengalahkan.
Serigala betina menjerit sejadi-jadinya. Melonglong meronta-ronta hingga suaranya kian merapuh. Ia ingin menghentikan perkelahian. Namun, siapa yang akan di belanya. Bingumg,cemas, takut menyergap di semua penjuru tubuhnya.Ia pun mengerahkan segala dan upaya untuk melerainya. Akhirnya perkelahian terhenti.
Sunyi.
Di ruang itu hanya terdengar napas yang terus berpacu. Dua pasang mata masih bertatapan penuh amarah. Sepasang mata pemuda itu semakin mengobarkannya. Mata pemuda itu beralih dan menangkap dengan sinis sosok serigala betina. Tanpa sengaja matamya juga menangkap sebilah pisau di atas meja. Tubuhnya seolah semakin bergetar seakan ada energi yang masuk dengan cepat dan mendorongnya mengambil pisau tersebut. Dengan langkah seribu ia mengambil pisau tersebut. Dengan arah menyudut ia menghunuskan pisau ke arah serigala jantan tepat kearah perutnya. Satu teriakan panjang, satu lenguh kesakitan,satu tusukan dan mungkin satu nyawa melayang.
Pemuda itu terdiam. Kemudian ia tercengang karena melihat serigala yang di tusuknya berubah menjadi sesosok lelaki yang ada di hadapannya tadi. Melihat kenyataan itu ia dengan langkah seribu pula meninggalkan mereka di ruang tersebut tanpa melihat bagaimana kondisinya.
Bayangan itu lenyap.
…..***….
Hanya terdengar bisikan angin menerpa dedaunan. Ranting-ranting kecil menari seirama kepakan sayap dedaunan. Napasnya mulai tenang setelah beradaptasi dengan suasana sekitar. Ia meluruskan kaki dan lebih mendekatkan tubuhnya ke batang pohon untuk memperbaiki posisi sandarannya.
Firman. Ia masih berpikir dan merenungi bayangan-bayangan yang tadi melintas. Bayangan itu sebenarnya nyata dialaminya sendiri. Dalam bayangannya perempuan itu adalah istrinya. Ia bernama Mona. Mona adalah istri yang sangat dan sangat dicintainya. Baginya Mona adalah bidadari yang di turunkan Tuhan untuknya. Mona memang cantik dan menawan. Tutur kata dan perilakunya ramah serta lemah lembut. Ia memperistri Mona tidak dengan begitu mudahnya. Pengorbanannya sangat besar untuk menjadikan Mona sebagai istri. Bagaimana tidak? Ia harus menentang kedua orang tuanya . Kedua orang tuanya tidak menyetujui hubungan mereka. Bukan karena faktor kekayaan atau derajat yang dipermasalahkan, namun dendam masa lalu antara orang tua dari dua belah pihak. Dendam yang mungkin terlalu besar sehingga tidak bisa reda untuk waktu yang lama.
Menghadapi hal itu, Firman dan Mona tidak menyerah begitu saja. Masih ada yang mendukung mereka yakni eyang kakung Firman. Eyangnya menyetujui mereka dan menikahkan keduanya karena takut terjadi suatu hal yang tidak diinginkan menimpa keduanya. Setelah menikah mereka kabur meninggalkan keluarganya masing-masing untuk meneruskan hubungannya.Mereka pergi dengan membawa bekal secukupnya. Mereka pergi ke tempat yang jauh dari tempat mereka sebelumnya.
Satu tahun pernikahan. Mereka harus menjalani hidup secara sederhana di sebuah kontrakan. Mona mengandalkan keterampilan menjahitnyayang diperoleh dari kursus selama setahun setelah lulus SMA. Sedangkan Firman dengan predikat lulusan SMA hanya kerja serabutan. Gajinya tak menentu. Penghasilan Mona dari menjahit juga tak seberapa. Kebutuhan mereka tercukupi dengan penghasilan itu walau harus pas-pasan dan sering kali menunggak pembayaran kontrak yang lumayan mahal.
Suatu hari dengan tidak sengaja Firman bertemu dengan Pamannya. Rumah pamannya berada di kota yang tidak jauh dari kota yang di tempati Firman. Dulu pamannya sering memberikan mainan kalau berkunjung ke rumah Firman sewaktu dia masih kecil. Dari pertemuan itu, Firman bicara bamyak tentang masalah hidupnya. Mulai dari orang tua yang menentang pernikahannya sampai berat hidupnya sekarang. Pamannya yang mempunyai dua anak itu masih terlihat muda. Sayang ia harus kehilangan istrinya untuk selamanya. Istrinya meninggal dua setengah tahun yang lalu saat melahirkan anak keduanya. Pamannya baru tahu masalah Firman itu karena sejak istrinya meninggal ia belum pernah mengunjungi kerabat-kerabatnya termasuk keluarga Firman.
Sejak saat itu Firman di beri pekerjaan oleh pamannya. Ia bekerja sebagai pekerja teknis di sebuah pabrik pengolahan besi. Pamannya hanya bisa menempatkan di sana karena lowongan lainnya sudah terisi. Firman sangat berterima kasih kepada pamannya. Tidak hanya itu, pamannya menyuruh Firman dan istrinya untuk tinggal di sebuah rumah sederhana yang berada tidak jauh dari rumah pamannya. Masih dalam satu komplek. Rumah itu sebenarnya salah satu rumah yang dikontrakkan pamannya, namun sudah setahun ini tidak ada yang mengontraknya. Mulanya Firman menolaknya karena selain tidak enak,ia juga merasa pamannya sudah terlalu baik dengan apa yang ia lakukan kepadanya.Akhirnya Firman luluh dan menerima untuk tinggal di sana setelah di bujuk pamannya.
“Anggap saja ini rumah dinasmu atau hadiah dariku seperti dulu aku sering memberimu mainan”. Bujuk pamannya.
…***…
Mona dan Firman sudah tinggal di sana selama satu tahun. Mereka hidup lebih bercukupan, walau harus lelah bekerja dengan setumpuk pekerjaan yang lumayan berat, namun gajinya cukup besar. Mereka merasakan keganjalan pada diri mereka. Mereka merasa kesepian karena belum menimang anak.
Di suatu siang, Firman pulang kerja lebih awal dari biasanya. Sanpai di rumah ia mendapatkan paman dan Mona ngobrol di ruang tamu. Hal ini sering terjadi dan membuat Firman curiga, namun pikiran itu segera ditepisnya. Ia berpikir bahwa itu sebuah kewajaran seorang paman yang menjemput bertamu ke rumah ponakkannya.
“Sudah pulang, Man”
“Sudah Om”. Firman menyebut pamannya dengan sebutan Om.
“Ada apa paman kok tumben main kemari”. Firman basa-basi.
“Ini….cuma ngobrol sama istrimu, Eh Man! Tadi istrimu mengeluh karena kalian belum mempunyai anak”.
“Ya mungkin belum waktunya Om”
“Pasti sebentar lagi kalian punya anak”
“Mudah-mudahan Om, saya bersyukur sekali jika itu terjadi”.
Mona muntah-muntah di belakang rumah. Firman menghampirinya dan menanyakan keadaannya. Ia kemudian membawa Mona ke Puskesmas terdekat. Ia harus membolos kerja hari ini.Setelah melakukan pemeriksaan wajah mereka malah berseri-seri. Dokter baru saja memberi tahu bahwa Mona hamil satu bulan. Tiga hari setelah kabar menggembirakan itu Firman pulang lebih cepat padahal hari ini jadwal biasanya ia lembur. Ia pulang dan masuk ke rumah. Ia langsung menuju ke kamarnya.
Bayangan itu kembali. Ia tergagap bangun dari lamunannya. Angin masih mengalun pelan menerpa pohon yang menaunginya. Suara lenguhan keluar dari mulutnya menandakan letih yang tak tertahan. Ia merasa bosan dengan suasana sekitar. Ia mencoba bangkit untuk pergi dari tempat itu. Baru saja ia menekuk lututnya untuk berdiri, ada dua pasang kaki bersepatu di hadapannya. Matanya mulai berjalan dari arah kaki bersepatu itu. Pelan namun nyata dan pasti. Sampailah matanya menatap wajah sosok di depannya.
“Polisi!”. Bisiknya lirih dengan sambutan senyum sinis.
Andi D Handoko, Cerpen ini terangkum dalam buku Antologi Cerpen joglo#3 terbitan Taman Budaya Jawa Tengah.
gambar dari:http://jengki.com
Andi Dwi Handoko
Andi Dwi Handoko Pendidik di SMP Negeri 2 Jumantono. Pernah mengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta dan menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar di Solo. Suka mengolah kata-kata di DapurImajinasi dan kadang juga di media massa. Pernah juga mencicipi sebagai pelatih Teater Anak dan Pimred Majalah Sekolah. Suka juga bermusik. Hubungi surel adhandoko88@gmail.com, Instagram adhandoko88, atau facebook.com/andi.d.handoko

Posting Komentar untuk "Jejak Bayangan"