Sinekdoke bahasa
oleh:Andi Dwi Handoko
Persoalan bahasa adalah persoalan yang sangat kompleks. Dalam berbahasa, kita sering menemui frase atau idiom yang sulit dimengerti namun sudah menjamur dan diterima dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah ”pembalut wanita”.
Secara sekilas, idiom tersebut tidak ada masalah dan sudah lazim digunakan masyarakat. Akan tetapi jika dicermati lebih lanjut, ada yang ganjil dalam idiom tersebut. Jika diurai ”pembalut” adalah alat untuk membalut atau membungkus. Sedangkan kata yang menyertainya adalah ”wanita”, sehingga idiom tersebut dapat berarti pembalut atau pembungkus wanita. Tentu pengertian ini menimbulkan sesuatu hal yang tidak logis. Agar logis maka idiom tersebut dapat diganti dengan ”pembalut kemaluan wanita” atau ”pembalut vagina”. Akan tetapi konvensi bahasa dalam masyarakat memandang hal tersebut sebagai hal yang tidak normatif. Kesan tabu akan muncul dalam idiom ”pembalut kemaluan wanita” atau ”pembalut vagina”, sehingga ”pembalut wanita” tetap menjadi sebuah idiom yang diterima masyarakat umum.
Gabungan kata yang berbentuk idiom sering menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum, sehingga menimbulkan kesan tidak logis. Jika dirunut dengan ilmu bahasa yang lain, fenomena di atas merupakan salah satu contoh dari gaya bahasa sinekdoke. Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebut sebagian untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau menyebut keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem pro parte). Jadi dapat diketahui bahwa idiom ”pembalut wanita” di atas merupakan contoh gaya bahasa sinekdoke totem pro parte yang menggunakan kata ”wanita” untuk menyebutkan salah satu bagian dari tubuh wanita, yakni kemaluan.
Selain itu masih ada contoh lain yang termasuk dalam sinekdoke totem pro parte yakni kalimat ”Indonesia meraih piala Thomas Cup”. Dengan kalimat tersebut seolah-olah bangsa Indonesia yang meraih Piala Thomas, padahal sebenarnya yang meraih piala tersebut adalah seorang atlet bulu tangkis dari Indonesia.
Untuk contoh dari sinekdoke pars pro toto, dapat dilihat dalam kalimat ”rambut keriting itu pandai bermain biola”. Kalimat ini jika dipahami secara harfiah pasti tidak masuk akal. Akan tetapi ”rambut keriting” adalah sebutan seseorang yang berambut keriting. Jadi penyebutan ”rambut keriting” dalam kalimat tersebut telah mewakili diri seseorang yang berambut keriting secara keseluruhan.
Dimuat di SOLOPOS, Kamis, 25 Juni 2009
Persoalan bahasa adalah persoalan yang sangat kompleks. Dalam berbahasa, kita sering menemui frase atau idiom yang sulit dimengerti namun sudah menjamur dan diterima dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah ”pembalut wanita”.
Secara sekilas, idiom tersebut tidak ada masalah dan sudah lazim digunakan masyarakat. Akan tetapi jika dicermati lebih lanjut, ada yang ganjil dalam idiom tersebut. Jika diurai ”pembalut” adalah alat untuk membalut atau membungkus. Sedangkan kata yang menyertainya adalah ”wanita”, sehingga idiom tersebut dapat berarti pembalut atau pembungkus wanita. Tentu pengertian ini menimbulkan sesuatu hal yang tidak logis. Agar logis maka idiom tersebut dapat diganti dengan ”pembalut kemaluan wanita” atau ”pembalut vagina”. Akan tetapi konvensi bahasa dalam masyarakat memandang hal tersebut sebagai hal yang tidak normatif. Kesan tabu akan muncul dalam idiom ”pembalut kemaluan wanita” atau ”pembalut vagina”, sehingga ”pembalut wanita” tetap menjadi sebuah idiom yang diterima masyarakat umum.
Gabungan kata yang berbentuk idiom sering menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum, sehingga menimbulkan kesan tidak logis. Jika dirunut dengan ilmu bahasa yang lain, fenomena di atas merupakan salah satu contoh dari gaya bahasa sinekdoke. Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebut sebagian untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau menyebut keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem pro parte). Jadi dapat diketahui bahwa idiom ”pembalut wanita” di atas merupakan contoh gaya bahasa sinekdoke totem pro parte yang menggunakan kata ”wanita” untuk menyebutkan salah satu bagian dari tubuh wanita, yakni kemaluan.
Selain itu masih ada contoh lain yang termasuk dalam sinekdoke totem pro parte yakni kalimat ”Indonesia meraih piala Thomas Cup”. Dengan kalimat tersebut seolah-olah bangsa Indonesia yang meraih Piala Thomas, padahal sebenarnya yang meraih piala tersebut adalah seorang atlet bulu tangkis dari Indonesia.
Untuk contoh dari sinekdoke pars pro toto, dapat dilihat dalam kalimat ”rambut keriting itu pandai bermain biola”. Kalimat ini jika dipahami secara harfiah pasti tidak masuk akal. Akan tetapi ”rambut keriting” adalah sebutan seseorang yang berambut keriting. Jadi penyebutan ”rambut keriting” dalam kalimat tersebut telah mewakili diri seseorang yang berambut keriting secara keseluruhan.
Dimuat di SOLOPOS, Kamis, 25 Juni 2009
Posting Komentar untuk "Sinekdoke bahasa"