Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerita Pendek "Marko"

Marko

“Aku akan membunuh orang itu sebelum ayam berkokok di pagi buta”
Sepenggal kalimat itu menyudahi percakapan lewat telepon. Suara dalam telepon kelewat halus dan santun walau ada tekanan aksen suara pada saat akhir pembicaraan. Akan tetapi Marko sang penerima telepon lebih terkesan dingin dan tak banyak cakap. Ia lebih menekankan pembicaraan dengan bertanya tak seperti seorang wartawan. Ia cukup mengatakan siapa, di mana dan berapa. Biasanya telepon seperti itu akan menjadi lebih lama ketika ia mengucapkan kata berapa. Jika terlalu lama, maka tak segan-segan ia mematikan telepon dan tak mengangkatnya lagi.
Pukul delapan lewat lima menit. Marko melihat jam di dinding kamarnya seperti melihat lomba pacuan kuda. Keningnya berkerut menandai suatu proses interaksi saraf-saraf di otaknya. Ia seperti anak kecil yang sedang mengerjakan hitungan matematika tanpa alat bantu apa pun. Ia tersenyum kecil. Malam ini pekerjaan telah menantinya. Pekerjaan yang tidak mudah, namun ia harus mengerjakan dengan mudah dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
“Aku harus membunuh seorang gubernur?” bisik dan tanyanya dalam hati.
Marko sudah memutuskan dan sudah menjajikan permintaan itu akan dijalankan malam ini dan sebelum ayam berkokok di pagi buta pekerjaan itu harus selesai. Ia sudah di beri alamat rumah dan segala hal ciri yang ada di dalam rumah itu mulai dari jumlah orang di sana, penjaga, dan sebagainya. Tapi sebenarnya ia telah mengenal rumah itu lebih dahulu, bahkan lebih detail dari apa yang sampaikan orang yang meneloponnya tadi.
Ia mengambil sebungkus rokok dari saku celananya. Sebatang rokok disulutnya dengan perlahan. Ia memandangi kipas angin yang terpasang di langit-langit kamarnya sembari mempermainkan asap rokok. Ia tampaknya sedang merancang strategi yang pas untuk pekerjaan yang sebentar lagi akan dilaksanakannya. Asap rokoknya terbang bebas dan berpendar dalam ruangan itu. Seperti hidupnya yang berpendar dalam kegelapan.
Teleponnya berdering lagi. Ia segera mengangkatnya karena tak lama lagi teleponnya akan dimatikan agar pekerjaannya berjalan tenang dan lancar.
“Marko” suara dari seberang terdengar serius.
“Ya di sini”
“Aku memesan tanganmu untuk satu urusan”
“Siapa, di mana dan berapa?”
“Gubernur brengsek kita, terserah di mana kau akan menghabisinya. Bayaranmu dua ratus juta”
“Aku bukan membunuh untuk satu ekor ayam” aksen Marko terdengar sangat dingin.
“Baiklah lima ratus juta, tapi harus bersih. Polisi sekarang lebih cerdik”
“Aku tak suka orang yang meragukanku”
“Baiklah, aku minta maaf, kau bersedia kan?
“Ya, besok pagi kau bisa melihat mayatnya”
“Apa tidak terlalu cepat?”
“Aku tak suka menunda-nunda tugas”
“Oke kalau begitu, kalau aku sudah melihat mayatnya, aku langsung transfer uang itu ke rekeningmu.
Tut....tutt...
Telepon itu berakhir. Marko terdiam.
“Dua orang yang berbeda menginginkan kematian gubernur itu? Apa yang dilakukannya hingga tak hanya satu orang yang menginginkan kematiannya” tanya dan bisikan hati Marko.
Bukan dua orang tapi tiga orang.
Tapi malam ini mungkin menjadi sebuah peruntungan bagi Marko. Setelah lama tak ada pesanan, kini dalam satu malam ada dua orang yang memesan keahliannya sebagai pembunuh bayaran dan target pembunuhan adalah satu orang yang sama. Cukup dengan menghabisi satu nyawa ia akan dapat dua buah bayaran yang nilainya sudah jelas tidak tanggung.
Ia sudah bersiap. Ia sudah tak sabar untuk menunaikan tugasnya. Sebenarnya ia sudah lama menunggu sebuah malam seperti ini. Apa yang akan digunakannya sudah dipersiapkan dengan rapi. Ia tak lupa mencuci tangannya. Sebuah kebiasaan bahkan mungkin sudah menjadi sebuah acara ritual sebelum ia melakukan setiap tugasnya. Ia harus membunuh dengan tangan yang bersih dengan mencucinya terlebih dahulu. Tak ada kembang tujuh rupa atau ubo rampe lainnya. Ia cukup mencuci tangannya dengan sabun yang biasa digunakannya ketika mandi.
Tak selang berapa lama, dengan mengendarai sebuah motor ia telah sampai di rumah tergetnya. Tanpa membuang waktu, ia pun segera masuk ke rumah itu. Ia seperti masuk ke rumah sendiri tanpa ada yang mengetahui gelagatnya. Ia segera menyiapkan pistol kedap suara. Ia mengendap-endap dari sebuah ruang ke ruang yang lain. Hingga sampailah ia di sebuah kamar dengan pintu tertutup. Dengan kepiawaiaannya pintu itu terbuka dengan sebuah kunci kecil multifungsi. Entah dari mana ia dulu mendapatkannya.
Ia segera masuk. Ia melihat seorang pria bertubuh tambun sedang menikmati pulas tidurnya dengan lampu kamar yang remang-remang. Tanpa banyak membuang waktu ia segera mengarahkan pistolnya ke arah kepala pria itu. Akan tetapi tiba-tiba pria itu menggeliat dan bangun dari tidurnya. Dengan ketenangan sempurna Marko tetap mendekati pria itu.
“Siapa kau?” pria itu setengah menjerit melihat makhluk yang tak dikenalnya masuk ke dalam kamarnya.
“Aku Marko” jawab Marko sembari melepaskan peluru dri pistolnya ke arah kepala pria itu. Jeritan tertahan tak sampai terdengar Darah mengucur cepat. Satu lubang menghiasi dahi pria itu. Izrail telah menyambangi tubuh tambunnya.
Marko mendekati mayat itu. Seperti pentas monolog, Marko bercakap-cakap sendiri di depan mayat itu.
“Sebenarnya tidak hanya dua orang yang menginginkan kematianmu malam ini. Mereka datang setelah sekian lama aku menginginkan kematianmu ini. Mereka baru ingin membunuhmu malam ini, tapi aku sudah lama ingin membunuhmu Tuan Gubernur. Tanpa diminta pun aku pasti akan membunuhmu”
Marko mengelus pipi mayat itu.
“Tuan Gubernur, rasanya aku paling puas terhadap pembunuhan ini dibanding pembunuhan-pembunuhanku sebelumnya. Mungkin pembunuhan ini belum cukup untuk menebus penderitaan seorang wanita yang pernah kau sia-siakan dan kau campakkan begitu saja. Aku tak akan meminta maaf padamu atas kematianmu ini, walau tubuhku ini hasil pertumbuhan benih kotormu. Tapi sebenarnya aku lebih memilih untuk tidak dilahirkan di dunia ini”
Tepat pukul sebelas lebih empat puluh lima menit Marko meninggalkan mayat itu tetap di tempatnya. Ia keluar dari kamar dengan tenang. Marko siap menanti esok pagi. Dua orang akan mengisi rekeningnya dengan bertumpuk-tumpuk uang.
Solo, 19’06’09

Biodata:
*)Andi D Handoko, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS Solo. Alamat: Sambeng RT02/RW01, Sedayu, Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah.
Andi Dwi Handoko
Andi Dwi Handoko Pendidik di SMP Negeri 2 Jumantono. Pernah mengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta dan menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar di Solo. Suka mengolah kata-kata di DapurImajinasi dan kadang juga di media massa. Pernah juga mencicipi sebagai pelatih Teater Anak dan Pimred Majalah Sekolah. Suka juga bermusik. Hubungi surel adhandoko88@gmail.com, Instagram adhandoko88, atau facebook.com/andi.d.handoko

Posting Komentar untuk "Cerita Pendek "Marko""