Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerpen "Mudik"

oleh: Andi Dwi Handoko

Tiba-tiba aku teringat kampungku. Sawah-sawahnya yang menghampar luas dan suara burung pipit yang terbang dari tangkai-tangkai padi seusai diusir oleh si empu sawah masih tajam mengisi urat sarat ingatanku. Entah sudah berapa musim kampung itu ku tinggalkan. Atau barangkali sudah berapa tahun kampung itu ku tinggalkan. Rumah bapak ibuku masih saja dengan alamat itu. Masih sama seperti alamat tujuan wesel yang selalu aku kirimkan tiga atau empat bulan sekali.
Barangkali sudah waktunya aku kembali ke kampung halaman. Selama ini aku seperti dalam sebuah kota pengasingan yang membuatku jauh dari ingatan masa kecil. Terpenjara dalam sebuah kota yang penuh dengan kehidupan beringas. Namun di kota ini, ibu kota ini, aku dapat menghidupi diriku yang dulu hanyalah seorang pengangguran lulusan SMP dengan nilai akhir yang pas-pasan. Di sisi lain aku juga dapat menyisihkan penghasilan untuk dikirim ke bapak ibu.
Kadang ketika aku mengirimkan wesel, ada balasan surat dari kampung. Isinya tak lain adalah menanyakan kapan aku pulang. Aku seperti menjadi seorang anak durhaka yang selalu menunda-nunda untuk pulang ke kampung dengan alasan sibuk. Akan tetapi setiap menjelang lebaran pekerjaanku semakin dikejar waktu. Alias memang benar-benar sibuk. Apalagi kalau ditanya tentang kapan aku pulang membawa calon istri. Itu pertanyaan yang sangat memilukan bagiku.
Tiba-tiba saja aku juga teringat kawan-kawan sepermainanku. Dulu, ketika bakda ashar, kita berbondong-bondong menuju masjid untuk belajar mengaji. Aku masih ingat Darsih, tetanggaku. Ia yang membuat aku selalu rajin ke masjid untuk belajar baca tulis Al quran. Aku senang diajari olehnya. Padahal jika sekolah dia adalah teman sekelasku. Ah, aku mungkin memang terlalu lambat untuk mengeja huruf hijaiyah. Tapi entah mengapa aku lebih cepat mengeja senyum Darsih yang sangat manis itu. Akan tetapi itu dulu, selepas lulus SMP, Darsih telah dipinang dan dinikahi orang lain. Seorang laki-laki tetangga desa yang katanya bekerja di kantor kecamatan.
Ya memang begitulah kampungku. Anak-anak perempuan seumuran lulusan SMP sudah biasa untuk dikawinkan. Orang-orang tua di kampungku sudah terdoktrin paham bahwa kodrat perempuan hanyalah sebatas kanca wingking yang tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Yang penting perempuan itu pandai 3M, yakni masak, macak dan manak. Ya memang begitu pendapat mereka. Aku malah teringat pada Darsih. Sudah punya anak berapakah dia? Aku juga masih ingat senyumnya. Manis sekali.
Labaran ini sudah ku putuskan untuk mudik ke kampung halaman. Aku akan membawa uang sebanyak yang aku punya dan berbagi fitrah dengan keponakan-keponakan. Aku akan mencium tangan dan bersujud di kaki ibuku yang sudah bertahun-tahun aku tinggalkan. Tapi aku pulang tidak membawa calon istri. Aku malah berniat mencari calon istri di kampung. Aku pun berhayal jika Darsih telah bercerai dan ketika aku pulang ia mau ku nikahi. Atau Mungkin khayalanku ini terlalu tinggi.
“Han...Barhan...ini tiketmu, keretanya berangkat besok jam sembilan pagi!”
“ Oke...lha kamu gak ikut mudik?
“Ha..ha..ha....tahun depan saja, aku masih kerasan di kota ini”
“Ya sudahlah...kamu tadi ditelepon Tedjo”
“Sudah ku telepon balik”

***
Aku sudah berada alam sebuah kereta yang akan membawaku pergi dari ibu kota menuju stasiun di sebuah kota kecil yang akan mengantarkan ke kampung halamanku. Wajah-wajah asing berada dalam sekelilingku. Mereka berjejajalan dengan membawa barang bawaan yang berlebih. Aku sendiri hanya membawa tas ransel yang isinya tentu saja hasil jerih payahku selama ini. Aku tak akan repot-repot membawa bekal dari kotaku. Nanti saja aku akan beli oleh-oleh di pasar kecamatan saja. Setelah sampai kampung, pasti orang-orang rumah tak akan menanyakan di mana oleh-oleh itu ku beli. Mereka pasti mengira oleh-olehku nanti adalah oleh-oleh dari ibu kota.
Benar saja, setelah sampai di pasar kecamatan, aku membeli oleh-oleh sangat banyak. Ada roti, kurma, pakaian, sarung, sirup minuman, dan lain-lain. Pokoknya banyak. Pasar kecamatan bagiku kini tak setradisional dahulu sebelum aku pergi ke ibu kota. Kini di sekitarnya sudah berdiri beberapa mini market dengan sistem swalayan meniru seperti yang ada di kota yang tak kenal tawar menawar. Bangunan pasar pun kini telah dirombak, dibangun dengan tembok yang kokoh dan seluruhnya beratap permanen. Tidak seperti dahulu, beberapa bilik pedagang hanya beratapkan terpal yang semakin lama semakin rapuh lalu bocor karena hujan dan panas.
Dengan menyewa sebuah mobil angkuta, aku menuju ke kampungku. Jalan ke kampungku sekarang sudah beraspal, walau beberapa sudut jalan terlihat aspalnya sudah mengelupas dan menyisakan lubang yang lumayan untuk membuat kendaraan bergoyang. Sawah-sawah masih seperti dahulu. Tak ada tanaman di musim kemarau, kecuali yang dekat dengan sungai.
Rumahku masih seperti dahulu. Hanya ada beberapa bagian yang mendapat perbaikan. Aku lihat bapak, ibu dan beberapa kerabat berada di ruang tamu ketika aku datang dan mengetuk daun pintu yang telah terbuka. Mereka sekejap heran. Lalu ucapan selamat datang pun membahana. Apalagi dari ibuku.“Oh akhire kowe mulih tenan le..le...”. Tak ada jawaban bagiku kecuali pelukan dan kemudian sungkem dihadapannya. Kemudian disusul sungkeman dengan kerabat lainnya.
Keponakan-keponakanku senang mendapat oleh-oleh dariku. Mereka tertawa riang dan memamerkan apa yang mereka dapat. Raut wajah kedua orang tua ku pun tampak bangga melihat diriku yang telah mapan. Aku mengaku sebagai staf pegawai di sebuah kantor swasta. Dari yang semula pegawai rendahan, kini sudah bergaji lumayan.
Akan tetapi apa yang aku ceritakan tentang pekerjaanku sebenarnya adalah kebohongan besar. Dalam hati aku meminta maaf kepada semua keluargaku terutama bapak ibu. Aku bukan pegawai kantor dengan gaji teratur setiap bulan. Maaf sekali lagi karena aku hanyalah seorang pencopet ibu kota. Dan musim lebaran kali ini kugunakan untuk mudik ke kampung hanya untuk sekadar bersembunyi dari kejaran polisi.
Andi Dwi Handoko
Andi Dwi Handoko Pendidik di SMP Negeri 2 Jumantono. Pernah mengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta dan menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar di Solo. Suka mengolah kata-kata di DapurImajinasi dan kadang juga di media massa. Pernah juga mencicipi sebagai pelatih Teater Anak dan Pimred Majalah Sekolah. Suka juga bermusik. Hubungi surel adhandoko88@gmail.com, Instagram adhandoko88, atau facebook.com/andi.d.handoko

Posting Komentar untuk "Cerpen "Mudik""