Cerita Islami "Jodoh Terbaik"
Kali ini DapurImajinasi akan menyajikan cerita islami yang berjudul "Jodoh Terbaik". Cerita ini menarasikan seorang muslimah yang sudah cukup untuk usianya menikah, tetapi belum mendapat jodoh. Keluarga sudah sering menanyakan tentang pernikahannya. Tidak hanya itu, tetangga juga sering menanyakan kapan dia berumah tangga. Ternyata pertanyaan-pertanyaan itu cukup mengganggunya. Apalagi, adiknya ternyata sudah mengutarakan untuk menikah. Bagaimana cerita selanjutnya? Silakan membaca sampai tuntas!
Jodoh Terbaik
oleh: Andi Dwi Handoko
Senja telah lindap ketika Rahma melangkah pulang. Dengan motor kreditan hasil jerih payahnya, ia menembus hiruk-pikuk kendaraan di jalanan. Ia menyempatkan untuk mampir ke warung sekadar membeli lauk-pauk untuk makan malam bersama keluarganya.
Ia segera masuk ke dalam rumah. Rahma mengucap salam dengan lembut namun tak mendapat tanggapan dari siapa pun. Seperti biasa, ia langsung masuk rumah. Rahma menuju ke dapur untuk meletakkan lauk yang telah dibelinya tadi. Dalam langkahnya ke dapur, ia tak sengaja mendengar percakapan orangtuanya di teras samping rumah.
Rahma mendengar namanya disebut-sebut dalam pembicaraan kedua orangtuanya tersebut. Ia berdiri terpaku di balik tembok. Aura kesedihan muncul menggelayuti perasaannya.
“Pak, Rahma itu sudah 27 tahun, tapi belum nikah juga?”
“Ya bagaimana lagi Bu, dia belum ada calon. Kalau mau dijodohkan, dia tidak mau.”
“Lha iya Pak, dulu itu kita kenalkan dengan Safrullah, anaknya Pak Bakdawi tapi tidak mau.”
“Ya ditunggu saja dulu Bu, sampai dia dapat calon pilihan yang tepat untuknya.”
“Masalahnya kan Zahra adiknya Pak. Dia sudah punya calon si Zamron, masak Zahra harus menikah dulu? Mendahului kakaknya, Rahma? Ini tak lazim Pak! Apa kata tetangga nanti?”
“Iya, kadang Bapak juga bingung menjawab pertanyaan tetangga yang menanyakan kapan Rahma menikah, padahal adiknya sudah punya calon.”
Masalah itu lagi. Dari balik tembok, Rahma mencoba menahan air mata yang mulai merembes dari celah kelopak matanya. Ia pun menarik napas untuk mengatur emosinya.
“Astaghfirullahal adzim..Astaghfirullah..” lirih Rahma menenangkan dirinya. Ia beristigfar karena tak seharusnya ia menguping pembicaraan orangtuanya tersebut. Setelah mulai tenang, ia mengucap salam dengan suara agak keras tak seperti tadi agar seolah-olah ia baru saja datang.
Rahma menemui mereka, dan menyerahkan bungkusan lauk kepada ibunya. Ayah ibunya tak menyinggung masalah yang dibincangkan tadi. Semua seperti tidak ada apa-apa. Barangkali orangtuanya menjaga perasaan Rahma agar tak terkesan selalu menuntut Rahma segera menikah. Tapi ketika izin pergi ke kamar untuk ganti baju, ayahnya dengan tersenyum bertanya canda kepada Rahma.
“Sudah ada calon Ma?”
Degup jantung Rahma meningkat. Canda dari ayahnya menyentuh perasaannya. Sembari berjalan ke kamar, Rahma menjawab “Insya Allah…” hanya itu jawaban terbaik Rahma.
Pagi harinya, ketika Rahma akan berangkat kerja, ia mendengar tetangganya bertanya kepada ibunya.
“Calonnya Rahma sudah ada belum ta Bu?”
“Enggak tahu Bu, itu si Rahma masih menekuni pekerjaanya, sudah dibilang segera nyari jodoh, eh dianya selalu menjawab Insya Allah.”
“Kalau Zahra pengin nikah cepat?”
“Ya itu makanya Rahma saya suruh nyari jodoh cepat-cepat.”
“Oalah Bu, jodoh itu memang sudah ada yang ngatur.”
“Ya memang, tapi manusia kan juga mesti berusaha.”
Tak terasa, air mata Rahma berlinang mendengar percakapan itu. Ia bergegas berangkat kantor dengan gelisah. Di kantor, Rahma tak dapat berkonsentrasi penuh. Ia memikirkan masalahnya. Ia kemudian ingat percakapan antara orangtuanya dan percakapan ibunya dengan tetangganya. Ia kemudian ingat perkataan Zahra sepekan lalu bahwa Zamron sudah berniat menikahinya. Tapi Zahra tidak ingin mendahuluinya. Zahra ingin kakaknya menikah dulu walaupun Zahra sudah mengaku siap lahir batin menikah dengan Zamron. Zamron pun sudah siap seperti Zahra. Hanya tinggal menunggu keputusan Rahma dan orangtuanya. Orangtuanya menginginkan Rahma menikah dulu karena dalam adat Jawa, seorang adik perempuan mendahului nikah kakaknya yang perempuan merupakan hal tak lazim.
Dalam kegelisahannya, Rahma beristigfar dan memutuskan untuk membujuk orangtuanya agar mau merestui dan melangsungkan pernikahaan adiknya dengan Zamron. Rahma menilai adiknya lebih siap lahir batin untuk lebih dulu menikah.
Sepulang kerja ia mengutarakan semuanya kepada orangtuanya dan Zahra. Kedua orangtuanya jelas menolak pemikiran Rahma yang menginginkan Zahra menikah lebih dulu. Namun, Zahra hanya diam dan menurut semua keputusan yang akan diambil orangtuanya. Di pihak lain, dengan lemah lembut Rahma menjelaskan kepada orangtuanya mengapa Zahra harus menikah lebih dahulu. Dengan alasan-alasan yang masuk akal, orangtua Rahma akhirnya setuju dengan Rahma. Alasan utamanya adalah untuk menjaga Zahra dari fitnah di masyarakat dan godaan perzinaan.
Tiga bulan kemudian, Zahra akhirnya menikah mendahului kakaknya. Rahma tak peduli dengan omongan tetangga. Ia telah memutuskan yang terbaik. Sambil matanya berkaca-kaca bahagia melihat prosesi akad nikah adiknya, Rahma berucap dalam hati, “Aku yakin Allah telah mengatur semua ini. Allah pasti mempunyai jodoh terbaik bagiku di suatu saat yang tepat.” ::Andi Dwi Handoko::
Dimuat di Solopos, Jum'at, 30 Juli 2010 , Hal.X
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNice work sir
BalasHapusok...
Hapus