Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Putri Kencana


Oleh : Andi Dwi Handoko

Di antara Bukit Seribu di Wonogiri terdapat sebuah bukit yang disebut Bukit Gandok. Bukit ini terletak di Desa Wonodadi. Penduduk sekitar kebanyakan berprofesi sebagai petani. Ketika musim penghujan, mereka menanam padi jenis gogo rancah yang dapat hidup hanya dengan air hujan. Kondisi tanah yang berbukit-bukit menyulitkan mereka untuk bersawah dengan irigasi normal. Di sisi lain, ketika musim kemarau mereka biasanya mempunyai cadangan makanan berupa singkong yang ditanam sehabis panen padi gogo rancah.

Adalah Pak Kancil Kariyo Dikromo, seorang petani yang hidup bersama anak istrinya di desa tersebut. Ia biasa dipanggil Pak Kancil oleh masyarakat setempat. Pak Kancil selain bertani, juga suka berburu. Ia biasa berburu hewan liar seperti ayam hutan, rubah, landak, dan lain-lain di sekitar Bukit Gandok. Suatu pagi, ia berpamitan kepada istrinya untuk berburu ke hutan sekitar Bukit Gandok.

“Bu, tolong persiapkan bekal makanan untukku”
“Bapak mau berburu?”
“Iya, tadi malam si bungsu minta dimasakkan daging landak”
“Baik pak, kebetulan ini ada sedikit thiwul* yang baru saja tanak..dan ini dalam botol ada minuman air gula aren hasil sadapan Bapak kemarin”
“Wah...lumayan itu, bisa buat sarapan dan makan siang..paling sebelum petang Bapak sudah pulang..Bapak berangkat dulu ya Bu...”
“Iya Pak..hati-hati...bawa hasil buruan yang banyak, dan jangan lupa permintaan si bungsu, kalau tidak dituruti malah bisa jadi rewel nanti”
“Siap! Gendon.....Ndon.....Gendon...”
“Gukk...guk...guk...guk.....”

Ya, Pak Kancil selalu mengajak Gendon untuk berburu. Gendon adalah anjing hitam yang dari kecil dipelihara Pak Kancil. Gendon selalu membantu Pak Kancil untuk mendeteksi keberadaan hewan buruan. Endusan Gendon terhadap hewan buruannya sangat tajam sehingga jarang sekali Pak Kancil pulang berburu dengan tangan hampa.
Bukit Gandok sebenarnya hanyalah sebuah bukit yang tidak terlalu luas. Tapi karena dikelilingi hutan, dan di sekitarnya ada puluhan bukit yang sambung-menyambung maka kawasan Bukit Gandok sangat luas dan masih asri. Banyak hewan yang betah menghuni Bukit Gandok.

Hampir tengah hari Pak Kancil belum mendapatkan hasil. Entah ada apa dengan hari itu. Ia dan Gendon belum menemukan sasaran yang tepat. Sejak awal perburuan memang ada beberapa hewan kecil, seperti burung dan bajing, tapi Pak Kancil tidak menangkapnya. Ia bertekad untuk mencari hewan-hewan yang agak besar seperti ayam hutan dan rubah. Tak terkecuali dan yang paling utama titipan si bungsu, yakni landak.
Karena merasa kelelahan, Pak Kancil beristirahat di bawah sebuah pohon beringin yang berada tepat sisi Bukit Gandok. Ia merebahkan tubuhnya di tanah dengan menyandarkan kepalanya pada tanah yang agak tinggi. Sementara Gendon, berkeliaran di sekitar Pak Kancil, mengendus-endus barangkali ada hewan buruan yang mendekat.
Di antara rasa lelah dan teriknya matahari, Pak Kancil memakan perbekalannya. Air gula aren sangat terasa menyejukkan badan. Tak lupa, nasi thiwul-nya juga ia makan sebagai pengganjal berut dan bekal energi untuk berburu nanti. Gendon pun mendapat jatah dari Pak Kancil.

Tiba-tiba Gendon menggonggong dengan keras. Mata Gendon menatap lurus pada suatu tempat. Tak ayal, Pak Kancil yang semula menikmati masa istirahatnya, langsung terbangun dan menghampiri Gendon. Barangkali ini adalah waktu terbaiknya. Pak Kancil melihat di suatu tempat yang masih dalam jangkauan matanya. Di sana ada seekor landak yang tengah berlarian di antara bebatuan. Ia pun segera menyuruh Gendon diam. Gendon memang penurut, mendapat isyarat dari Pak Kancil, Gendon langsung diam seketika.
Pak Kancil segera menyiapkan peralatan berburunya. Anak panah yang telah dilumuri upas untuk berburu telah ia siapkan beserta busurnya. Ia pun melangkah maju menghampiri landak tersebut. Tapi naluri landak bertindak cepat. Landak itu merasa terancam jiwanya karena ada makhluk asing yang sedang mendekatinya. Dengan sigap ia meninggalkan tempat itu sembari menegakkan bulu-bulunya yang tajam.

Tak ingin buruannya kabur, Pak Kancil segera berlari mengejarnya sambil mengarahkan bidikan panahnya ke arah landak yang berlari. Tapi tiba-tiba Pak Kancil kehilangan landak buruannya.

“Ah...di mana landak tadi? Hari ini mesti kudapatkan landak itu,” umpat Pak Kancil.
Gendon pun beraksi dengan mengandalkan indra penciumannya. Ia mengendus-endus tempat sekitar yang memang dominan bebatuan karst sehingga ada banyak sekali lubang-lubang di sana dan biasanya dihuni hewan-hewan liar. Pak Kancil pun terus mempertajam penglihatannya. Ia menyusuri tempat yang kira-kira digunakan landak tersebut untuk bersembunyi. Namun, tiba-tba ada gelagat aneh dari si Gendon. Ia menggonggong dengan keras dan berlari menuju suatu tempat menjauhi Pak Kancil. Pak Kancil berpikiran bahwa Gendon telah mengetahui tempat persembunyian si landak. Pak Kancil pun berlari mendekati si Gendon.

Tiba di suatu tempat, Pak Kancil melihat Gendon masuk ke dalam sebuah gua sambil terus menggonggong. Pak Kancil kemudian terdiam, ia telah sampai di mulut gua.
“Gua apa ini?” batin Pak Kancil.
Ia belum pernah sekali pun ke tempat ini, bahkan gua ini. Di dalam hati Pak Kancil muncul pertanyaan-pertanyaan ganjil.
“Apa ini gua macan?”
Gua itu memang agak besar di antara lubang-lubang lain di Bukit Gandok yang pernah dilihat Pak Kancil. Mulut gua itu sebesar tubuh Pak Kancil. Sementara matahari mulai mengarahkan tubuhnya ke barat, Pak Kancil menimbang-nimbang untuk masuk ke dalam gua atau tidak. Tetapi bagaimana dengan Gendon. Ia pun memanggil-manggil Gendon untuk segera keluar. Akan tetapi, sudah puluhan kali Pak Kancil memanggil Gendon, Gendon pun tak juga beranjak keluar dari dalam gua tersebut.
“Ndon....Gendon......Ndon....”

Tidak ada tanda-tanda bahwa Gendon akan keluar, maka Pak Kancil memutuskan untuk masuk ke dalam gua. Pak Kancil pun masuk dengan posisi badannya miring supaya leluasa masuk ke dalam gua. Keadaan dalam gua sangat gelap sekali. Ia pun menyalakan obornya. Ia selalu membawa obor ketika berburu karena Pak Kancil memang sering pulang agak malam. Pak Kancil terus menelusuri gua tersebut yang ternyata semakin dalam semakin bertambah luas.

Sampailah Pak Kancil pada suatu tempat yang membuatnya kagum. Di sana ia melihat batuan-batuan yang mengilat meruncing. Batuan itu bertambah eksotis tatkala terkena sinar dari obor Pak Kancil. Pak kancil menyebutnya dengan batu lintang. Dan memang para masyarakat di sekitar Bukit Gandok sering mencari batu lintang untuk dijual. Semakin ke dalam, Pak Kancil semakin bertambah decak kagumnya. Semakin dalam ternyata keadaan gua semakin dingin karena kondisinya yang lembab.
Pak Kancil merasa ada di dunia lain. Dengan diterangi obor ia melihat-lihat keadaan di sekitarnya. Sungguh sangat mengejutkan. Ia bahkan mulai lupa kalau tujuan utama ke dalam gua itu adalah mencari si Gendon. Ia pun segera sadar dan kembali memanggil-manggil Gendon.

“Ndon....Gendon......Ndon....”
Yang dipanggil tetap saja tidak menyahut. Kemudian, Pak Kancil menemukan sebuah pintu di dalam gua tersebut. Ia sangat kaget, mengapa ada sebuah pintu di dalam gua. Ia pun mendekati pintu tersebut. Tak ada ketakutan sedikit pun dalam diri Pak Kancil. Ia sudah terbiasa dengan hal-hal mistis di sekitar Bukit Gandok. Pak Kancil membuka pintu itu dan terkejutlah ia.

Alam bawah sadar Pak Kancil serasa tersentak. Setelah membuka pintu ia menemukan sebuah ruangan yang sangat terang tanpa bantuan obornya. Ia pun mematikan obornya. Ia pun semakin terkejut ketika ia melihat seorang putri berada di ruangan tersebut. Putri tersebut ditemani banyak dayang. Dayang-dayang tersebut tampak melayani segala kebutuhan putri. Sementara, Pak Kancil mematung di ruangan tersebut.
Putri itu sangat cantik sekali. Bergaun sutera biru yang menawan. Rambutnya hitam legam dan terurai lembut. Keanggunan putri tersebut semakin jelas terlihat dari mahkota emas yang dipakainya. Belum pernah Pak Kancil melihat seorang perempuan secantik sang Putri. Gaun sutera biru sang putri tampak gemerlap sekali. Ada renda emas di setiap tepinya. Perhiasan-perhiasan sang putri tampak gemerlap. Semuanya terbuat dari emas dan mengilat karena tertimpa cahaya yang sangat terang di ruangan tersebut.

“Mari ke sini Pak Kancil,” ujar sang Putri kepada Pak Kancil yang masih mematung karena terkesan dengan semua yang dilihatnya.
“B....ba...ba..bagaimana Pu...pu...tri...tahu nama saya?” tanya Pak Kancil dengan terbata-bata karena gugup.
“Pak Kancil tak usah memikirkan itu. Sekarang Pak Kancil berada dalam istanaku”
“Maaf Putri, saya ke sini hanya ingin mencari anjing saya, tadi masuk ke dalam gua ini”
“Tidak apa-apa Pak Kancil. Soal anjingmu itu tak usahlah kau permasalahkan”
“Tapi Putri, saya mesti pulang dengan anjing saya. Dan saya pun juga belum mendapat buruan landak titipan anak bungsu saya, padahal hari sudah beranjak sore Putri.”
“Tak mengapa Pak Kancil. Pak Kancil di sini dulu saja. Anjing Pak Kancil takkan hilang di sini.”

Pak Kancil menuruti apa yang diperintahkan sang Putri. Pak Kancil duduk di sebuah kursi yang telah disediakan oleh dayang-dayang sang Putri.
“Pak Kancil?”
“Iya Putri.”
“Kau pasti kelelahan karena seharian kau berburu di luar. Makanlah hidangan yang disediakan para dayang itu”
“Eh...maaf Putri, saya masih kenyang, baru saja di luar tadi saya makan perbekalan yang dibuatkan istri saya.”
“Jadi kau menolak hidanganku itu?”

“Bukan berarti begitu tuan Putri, karena di sini saya hanya kesasar waktu mencari anjing saya, jadi saya tak enak jika dijamu makanan-minuman yang mewah itu”
Pak Kancil sebenarnya sangat lapar. Walaupun dia sudah makan perbekalan, tapi melihat makanan yang dihidangkan Putri terlihat sangat lezat, perutnya pun lapar kembali. Namun, Pak Kancil sadar, ia berada di suatu tempat yang seharusnya tidak ia masuki. Ia berada di alam yang lain. Maka dengan pertimbangan itu, Pak Kancil tidak mau memakan apa yang telah dihidangkan oleh sang Putri. Pak Kancil takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya setelah makan hidangan dari sang Putri.

Suasana dalam ruang itu tampak hening. Pak Kancil tidak tahu mesti berbuat apa. Ia hanya mengarahkan matanya berkeliling menatap setiap sudut ruangan yang ia anggap sangat asing tersebut. Di sudut ruang ia melihat seekor kucing dalam sangkar emas. Kucing itu tertidur sangat pulas. Namun, Pak Kancil tidak melihat tanda-tanda bahwa anjingnya berada di tempat tersebut. Ia hanya melihat kucing itu. Lalu sang Putri melontarkan pertanyaan untuk Pak Kancil.

“Lalu, apa sebenarnya apa maumu Pak Kancil?
“E....em... Saya hanya ingin kembali dengan anjing saya, Putri”
“Baiklah Pak Kancil, di sini tak ada anjing yang Pak Kancil cari. Pak Kancil pulang saja ke rumah Pak Kancil. Supaya tidak tersesat di dalam gua ini, nanti Pak Kancil ikuti saja ke mana kucingku berjalan. Kucing itu akan mengantar Pak Kancil hingga keluar dari sini,” ujar sang Putri sembari menunjuk ke arah kucing yang sedang tertidur pulas di dalam sangkar.
“Baiklah Putri, saya akan mengikuti perintah Putri.”
“Tapi sebelum kau meninggalkan tempat ini, saya ada oleh-oleh untuk Pak Kancil dan keluarga. Kemarilah!”

Pak Kancil mendekat ke singgasana sang Putri. Ia menerima buah tangan dari sang Putri berupa dua buah jadah*. Pak Kancil kemudian menaruh dua jadah itu di saku bajunya.
“Terima kasih atas kebaikan Putri, saya pulang dulu, takut hari semakin malam.”
“Baiklah Pak Kancil. Hati-hati dalam perjalananmu menuju rumah.”
“Baik Putri.”

Sang Putri kemudian membangunkan kucingnya dan membuka pintu sangkarnya. Kucing itu pun keluar dari sangkar emasnya. Mendapat isyarat dari sang Putri agar menunjukkan jalan ke luar gua bagi Pak Kancil, kucing itu pun menurut dan mulai berjalan ke luar. Pak Kancil mengikuti arah kucing itu berjalan. Ternyata semakin lama, kucing itu semakin cepat berjalan, bahkan kucing itu mulai berlari meninggalkan Pak Kancil yang mengikutinya. Pak Kancil kelelahan karena tak mampu mengejar kucing itu. Ia pun lupa jalan ke luar. Ia takut tersesat dalam gua itu. Maka Pak Kancil memutuskan untuk kembali ke tempat sang Putri tadi.

“Ada apa Pak Kancil? Mengapa Pak Kancil kembali lagi ke sini?”
“Maaf Putri, Kucing itu berlari sangat cepat sehingga saya tidak bisa mengikutinya. Saya takut tersesat lagi.”
Seketika sang Putri memanggil kucing yang disuruh untuk mengantarkan Pak Kancil tadi. Ajaib, tanpa banyak waktu, kucing itu sudah berada dalam ruangan itu lagi. Sang Putri pun menasihati kucingnya.

“Hai Kucing, berjalanlah pelan-pelan, janganlah engkau meninggalkan orang ini!”
Kucing itu menerima perintah sang Putri. Ia mengantar Pak Kancil ke luar gua dengan berjalan pelan. Dan sampailah Pak Kancil di luar gua. Karena sudah menunaikan perintah sang Putri, kucing itu lantas kembali ke dalam gua. Ternyata hari sudah petang. Pak Kancil tentu saja membatalkan perburuannya hari ini. Ia pun tidak melanjutkan mencari anjingnya. Ia memilih pulang ke rumah.

Keluarga Pak Kancil mencemaskan Pak Kancil karena sampai malam hari Pak Kancil belum juga datang. Selain itu, si Gendon sore tadi sudah sampai di rumah sendirian, tanpa Pak Kancil. Sungguh suatu yang sangat tidak biasa. Mereka takut jika terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan pada Pak Kancil. Setiba Pak Kancil di rumah, semua anggota keluarga Pak Kancil merasa lega. Pak Kancil pun lega, selain lega karena ia telah sampai di rumah, ia pun melihat anjingnya juga telah berada di rumah.

Pak Kancil pun menceritakan semua yang dialaminya kepada istri dan anak-anaknya. Mereka pun antara percaya dan tidak percaya. Untuk memastikan kebenaran Pak Kancil, mereka meminta bukti nyata. Pak Kancil pun mengeluarkan jadah yang telah diberikan sang Putri dari dalam saku bajunya. Tapi Pak Kancil kaget karena ternyata di dalam saku bajunya tidak ada jadah, melainkan dua buah batu yang dianggap istri dan anaknya adalah batu lintang yang ukurannya kecil sekali. Istrinya mengatakan bahwa batu lintang kecil itu bila dijual pasti tidak akan ada yang beli.

Batu lintang itu pun diserahkan kepada anaknya. Merasa tidak ada gunanya, batu lintang itu dibuang. Padahal jika Pak Kancil dan keluarganya tahu, sesungguhnya batu lintang itu bukanlah batu lintang yang mereka lihat biasanya. Itu adalah batu intan permata yang jika dijual akan sangat mahal sekali. Karena ketidaktahuan mereka, batu itu pun dibuang.

Cerita dari Pak Kancil menyebar dari mulut ke mulut. Maka banyak orang di desa sana mendatangi gua yang dimasuki Pak Kancil. Dan di antara orang-orang yang ke sana memang mengakui pernah melihat dan didatangi putri yang memakai mahkota kencana bergaun sutera biru. Mulai saat itulah tersebar cerita-cerita mengenai keberadaan putri di dalam gua itu dan akhirnya gua tersebut oleh masyarakat sekitar dinamai Gua Putri Kencana*.


Keterangan Cerita:
*Thiwul : nasi yang terbuat dari tepung singkong.
*Jadah : sejenis makanan yang terbuat dari ketan.
*Gua Putri Kencana adalah gua yang berada di Desa Wonodadi, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Andi Dwi Handoko
Andi Dwi Handoko Pendidik di SMP Negeri 2 Jumantono. Pernah mengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta dan menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar di Solo. Suka mengolah kata-kata di DapurImajinasi dan kadang juga di media massa. Pernah juga mencicipi sebagai pelatih Teater Anak dan Pimred Majalah Sekolah. Suka juga bermusik. Hubungi surel adhandoko88@gmail.com, Instagram adhandoko88, atau facebook.com/andi.d.handoko

1 komentar untuk "Putri Kencana"