Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Senandung Ilalang di Wajah Merbabu


Pada kerinduan yang tak sempat terjamah, pada kabut gunung dan segarnya bau edelweiss di pagi hari, pada semilirnya angin yang kadang menggigilkan tubuh, rasanya sangat ingin dekat kembali dengan semua itu. Mei. Yah, seperti tahun yang lalu, pada Mei ‘11 akhirnya kusempatkan untuk mendekap kerinduan itu. Kerinduan pada Gunung Merbabu. Memang benar kata salah seorang temanku bahwa mendaki gunung adalah candu.

Cerita bermula dari komentar status Fb temanku yang merencanakan bahwa dia akan mendaki Merbabu. Selidik punya selidik, ternyata pendakian akan dilaksanakan bersama rombongan dari LPM. Akhirnya, satu hari sebelum pendakian aku menyatakan untuk ikut. Yah, padahal statusku pada waktu itu adalah “sementara menganggur” dan seharusnya pada hari itu, aku mengikuti ujian microteaching di salah satu sekolah swasta. Namun, aku memilih mendaki gunung. Ha ha ha. Selain memang karena keinginan untuk foto-foto di sabana Merbabu (yang tahun lalu berkabut tebal dan badai), juga ada sokongan dana dari orderan menyusun buku (buku belum beres, uang sudah masuk rekening..he he).

Langsung saja. Rombongan terdiri dari 15 orang: Sigit, Djoko, Andi, Wisman, Huda, Hanif, Bambang, Imron, Qodri, Jatmiko, Tambak, Tut-tut, Aish, Desi, dan Tyas. Dari Solo (20/5) berangkat sekitar pukul 17.30 WIB. Herannya, setiap aku akan mendaki Merbabu, setiap berangkat mesti turun hujan. Perjalanan direncanakan melalui jalur Selo. Dengan beberapa hambatan (termasuk si Biru Manis saya yang ikut-ikutan mogok segala) akhirnya kami sampai basecamp sekitar pukul 22.00. Jalan ke basecamp pun sudah rusak, pokoke ancur. Setelah packing dan berdoa, pendakian pun dimulai sekitar pukul 22.30.

Keluar dari basecamp jalur yang kami lalui adalah jalan beraspal, tetapi tak sampai seratus meter kami masuk ke dalam hutan dan melalui jalan setapak. Jalan setapak agak mendaki, tetapi masih banyak “bonusnya” yakni jalan yang landai. Untuk menuju pos satu, kami memutari bukit. Semakin lama, jalanan semakin terjal dengan sebelah kanan jurang yang saya namakan jurang “buk..buk..buk..” karena waktu pendakian pertama dulu, tas saya pernah jatuh ke jurang tersebut dan bunyinya buk..buk..buk..karena jeda tertahan semak-semak. Obrolan, selentingan, dan teriakan gokil kadang kami andalkan untuk penyemangat. Tetes-tetes air sisa hujan kadang masih kami rasakan sepanjang perjalanan. Pohon-pohon yang besar masih menaungi perjalanan kami. Akhirnya, kami sampai Pos I pada pukul 00.00. Kami melepas lelah sembari memandang bulan yang kadang tertutup awan. Suasana mistis ala gunung pun terasa.

Puas istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Bila terlalu lama istirahat, otot-otot yang sudah panas, akan cepat dingin, dan itu bisa menyebabkan kram. Bahkan kalau suhu tubuh turun karena lama tak bergerak, tubuh pun bisa drop. Perjalanan menuju Pos II hampir sama keadaannya dengan menuju Pos I. Masih kanan jurang dan dinaungi pohon-pohon. Dan sampailah kami di sebuah pertigaan, lurus atau belok kiri. Jalan lurus agak gelap dan langsung turun karena ada akar pohon yang melintang di jalan setapak. Leader langsung mengarahkan jalannya ke arah kiri. Jalan kemudian agak menanjak dengan kanan kiri rerumputan dan semak-semak.

Perjalanan terasa aneh, karena saya dulu sepertinya tidak melewati jalan setapak ini. Jalannya mendaki terus dan kanan-kiri rerumputan tinggi-tinggi. Pohon-pohonnya pun agak jarang dan kecil-kecil. Padahal, jika menuju Pos 2 harusnya masih banyak pohon-pohon besar. Setelah lama berjalan, saya pun sadar, kami tak melalui jembatan kalimati—sebuah sungai kecil dengan jembatan dari dahan-dahan pohon.

Saya bersimpulan, kami salah jalur. Senter-senter dari pendaki lain pun tampak on-off ke arah kami. Dan itu saya yakin untuk memberi sinyal bahwa kami salah jalur. Sepertinya ini adalah jalur yang biasa digunakan penduduk dan bukan jalur resmi yang biasanya dilewati pendaki. Dan memang benar, ternyata kami salah ambil jalur di pertigaan setelah Pos 1. Seharusnya kami ambil jalur lurus dan agak menurun. Tapi pendakian tetap diteruskan karena sudah kepalang tanggung. Bila harus kembali ke pertigaan tadi, sudah jauh sekali jaraknya. Kami yakin pasti ada jalur untuk ke puncak walau jalurnya bisa jadi lebih jauh dari jalur resmi. Angin berembus semakin kencang, suhu udara semakin terasa menggigilkan badan. Apalagi saya masih berkostum kaus pendek dan celana juga pendek. Langit semakin cerah, dan bulan semakin memberi banyak sinarnya.

Akhirnya, kami sampai pada sebuah tempat dengan percabangan jalan, leader mencoba lurus, tapi saya dan Tutut mengusulkan untuk mengecek jalur ke kanan karena saya rasa jalur ke puncak cenderung ke arah kanan. Setelah saya cek, ternyata jalurnya masih ada dan kelihatan. Akhirnya kami memutuskan ke kanan. Kami seperti di dalam lembah. Aroma mistis pun semakin kuat karena kami mencium aroma bebunga di sana. Entah aroma dari bunga apa, saya senidir tidak tahu. Namun, pemandangan di lembah itu sangat memesona.

Kami disajikan padang yang luas dengan hamparan ilalang yang kadang sampai setinggi perut. Ilalang seperti bersenandung dengan cahaya bulan dan diiringi irama embusan angin yang semakin dingin menusuk badan. Perjalanan agak sedikit menurun, tetapi di depan sudah disajikan siluet bukit yang terjal. Jarak antaranggota sudah mulai renggang. Ketika mendaki bukit, saya sudah mulai tidak tahan dengan dingin yang diembuskan angin ke badan. Maka saya memakai jaket yang saya taruh di tas. Lumayan, rasa dingin pun berkurang. Di antara sela istirahat, saya menikmati kentang rebus—bekal yang diberikan oleh orang tersayang.he he….

Sampai di atas bukit sekitar pukul 02.00 kurang sedikit, kami sampai di suatu tempat terbuka. Letaknya datar, tetapi tidak ada pepohonan, semua rumput dan semak. Kami pun menemukan ceruk yang lumayan meminimalisasi terpaan angin. Kami istirahat di sana. Tanpa dome dan hanya beralaskan matras dan terpal. Beberapa kawan ada yang langsung tidur. Tetapi saya enggan tertidur. Jaket parasut polar yang saya gunakan sudah tidak standar lagi. Dingin terasa sampai menusuk tulang. Akhirnya saya lebih memilih menghangatkan diri dengan duduk di depan api unggun—yang apinya sering kali mati.

Sekitar pukul 04.00 beberapa kawan sudah bangun. Suara gigil kadang kala terdengar untuk menghangatkan tubuh. Sesaat kemudian terdengar suara azan dari bawah sana. Subhanallah. Siluet gunung merapi pun sudah tampak di selatan. Hamparan langit mahasempurna pun masih tersajikan di atas kami. Hari mulai cerah, kami pun tak lupa mengabadikan pemandangan yang indah itu.

Masak-masak pun dimulai. Saya agak pasif karena kedinginan. Saya merasa badan saya tidak fit karena malam sebelum pendakian saya tidak tidur. Awal berangkat ke Selo saja, badan saya rasanya seperti turun dari mendaki. Tapi yang penting semangat dan dilandasi niat yang bersih nan kuat. Selanjutnya sarapan dimulai. Nasi+mi+sarden+telur asin..wow baru kali ini naik gunung makan nasi, pasti bisa menjadi asupan yang bagus untuk tubuh guna melawan rasa dingin.

Setelah beres-beres dan packing, kami melanjutkan perjalanan sekitar pukul 08.00. Dari sana terlihat jalur terjal khas jalur memoriam. Kami tak sadar bila kami istirahat di bawah bukit Sabana I alias kawasan Batu Tulis. Kalau kami sadar, mending istirahat di sekitar batu tulis. Tapi enggak apa-apa, walau istirahat di tempat terbuka, tetapi pemandangannya sungguh menawan. Perjalanan menuju Batu Tulis, cukup memanaskan kaki, bukitnya cukup terjal.

Sampai di Sabana I kami bertemu dengan pendaki lain yang mendirikan beberapa dome di sana. Selanjutnya, kami istirahat sebentar di batu tulis. Ternyata batunya sudah terbalik, tidak tinggi seperti dulu lagi. Lanjut perjalanan, kini kami disuguhi medan yang terjal dan tak bersahabat. Tapi itu adalah tantangan kami. Otak kanan pun bekerja, sementara otak kiri harus pandai-pandai memilih jalur yang paling baik. Sampai di atas bukit, rasa lelah dan nagntuk menghinggapi beberapa teman. Saya yang sudah 30 jam lebih belum tidur, tak merasakan kantuk sama sekali, mungkin ini efek minuman suplemen ala Mbah Maridjan yang saya minum. Namun, gara-gara tidak tidur, efek ke badan jadi kurang fit.

Sang leader Djoko pun tak tahan menahan kantuk. Akhirnya, rombongan pun dibagi menjadi 2. Rombongan pertama terdiri dari Saya, Sigit, Tut-tut, Tyas, Aish, Tambak, Djatmiko, dan Desy berangkat lebih dulu. Sisanya menjadi rombongan dua yang nantinya diperkirakan akan menyalip rombongan pertama. Perjalanan pun terasa sangat panas dengan mendaki bukit bersemak. Panasnya cukup menyengat karena saya salah kostum, yakni kaus lengan pendek. Step by step kami berjalan. Tak jarang sepuluh langkah berhenti demi mengatur napas, dan mending seperti itu daripada kelamaan istirahat jadi lama sampai dan membuat tubuh jadi drop. Sampai di atas bukit, saya menyemangati teman-teman karena kami telah sampai di Sabana II. Sabana II mengingatkan saya pada pendakian tepat setahun yang lalu, ketika itu di Sabana II, saya dan ketiga teman mendaki saya terhalang badai angin. Angin berembus kencang sampai-sampai kami bergandengan tangan ketika berjalan menyusuri jalan setapak.

Memasuki Sabana II lagi-lagi kami istirahat. Tempatnya istirahat seperti taman. Lagi-lagi saya menikmati kentang rebus dan ini adalah yang final. Selanjutnya kami menyusuri jalan setapak ke Sabana II. Dan terpampanglah padang ilalang yang indah, ada juga padang edelweiss di atasnya. Pemandangan yang bagus tentu saja menjadi objek untuk pemotretan..hawakakakakak. Dari Sabana II terpampang jalur membelah bukit yang memanjang. Dan kami pun dengan semangat menelusurinya sampai di atas. Atas bukit tersebut merupakan gerbang ke Sabana III. Kami menyempatkan istirahat lagi di sana. Dan dari sana juga terlihat rombongan II sudah menyusul sampai di Sabana II.

Kami sampai di Sabana III atau Pos 4 sekitar pukul 11.30. Memasuki Sabana III terpampanglah pemandangan yang superindah. BUKIT TELETUBIES. Padang rumput menghampar luas dengan dikelilingi bukit yang menghijau. Pas sekali jika dianalogikan sebagai Bukit Teletubies. Ini salah satu keinginan saya mendaki Merbabu untuk kedua kalinya, yakni berfoto-foto di Sabana III karena pendakian pertama dahulu berkabut tebal jadi Bukit Teletubies-nya tidak terlihat. Saya pun bermain-main dengan padang rumput. Tidur di antara semak rerumputan meniru Jejak Petualangan Survival—salah satu acara televisi favorit saya.

Puas berfoto ria, kami pun bergabung dengan rombongan 2 yang telah menyusul. Rombongan pun lengkap kembali. Perjalanan berlanjut dan kami sampai di ladang edelweiss. Edelweis dengan tinggi 2-3 meter. Sayang, Edelweisnya tidak banyak berbunga dan agak kurang lebat, tak seperti dulu. Dua teman kami terpaksa tidak meneruskan perjalanan. Barang-barang kami pun ditinggal di sana. Kami hanya membawa perlengkapan dan konsumsi seadanya untuk menuju ke puncak.

Perjalanan dilanjutkan. Ini adalah mendaki yang kami namakan Bukit Putus Asa. Kenapa namanya cukup pesimis? Ya karena bukitnya sangat panjang dan mendaki terus, jadi seolah-olah puncak sudah dekat, padahal perjalanan masih panjang. Saat itu cuaca cerah sehingga rasa lelah terobati pemandangan yang wooooww…….. Bukit-bukit menjulang dengan gagahnya dan kadang kala kabut datang seperti sayap-sayap peri.

Dan akhirnya, sekitar pukul 13.00 (21/5) kami sampai di Puncak pertama jalur Selo, yakni Puncak Triangulasi. Pemandangannya Waooow…ini tidak saya temui pada pendakian pertama setahun yang lalu ketika itu kabut super akut. Kami seolah-olah berada di negeri di atas awan. Selanjutnya, kami menyeberang jalan setapak untuk sampai di Puncak kedua, yakni Puncak Kenteng Songo. Dan di sana pun pemandangan semakin indah tak terlukiskan. Sungguh keagungan Tuhan Yang Mahakuasa.

Sekitar Pukul 14.00 kami turun dan sampai di ladang edelweiss sekitar pukul 15.00. Kami pun makan kembali. Setelah makan, salat jamak Zuhur dan Asar, dan packing, Pukul 16.15 kami memutuskan untuk turun. ………………………………………(singkat cerita) kami tak mengambil jalur waktu naik. Setelah batu tulis kami ke arah kiri, yakni jalur resmi yang biasa digunakan pendaki. Ternyata jalurnya mulai ancur tererosi aliran air hujan. Jadi lebih semakin licin. ……….(singkat cerita) kami sampai di basecamp sekitar pukul 22.00. Sungguh perjalanan 24 jam yang mengharubirukan…..

NB: Gara-gara hanya pakai kaus pendek ketika mendaki, tiga hari setelah mendaki sebagian wajah saya ganti kulit. Seminggu kemudian disusul tangan saya. Hmmm…berasa jadi lebih muda..ha haha. Dan sampai catatan perjalanan ini dibuat, proses pergantian kulit pun masih berlangsung. Dan satu lagi, saya tak memetik bunga edelweiss , biarkan mereka abadi di antara kabut dan embusan angin gunung.
Andi Dwi Handoko
Andi Dwi Handoko Pendidik di SMP Negeri 2 Jumantono. Pernah mengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta dan menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar di Solo. Suka mengolah kata-kata di DapurImajinasi dan kadang juga di media massa. Pernah juga mencicipi sebagai pelatih Teater Anak dan Pimred Majalah Sekolah. Suka juga bermusik. Hubungi surel adhandoko88@gmail.com, Instagram adhandoko88, atau facebook.com/andi.d.handoko

Posting Komentar untuk "Senandung Ilalang di Wajah Merbabu"